Lihat ke Halaman Asli

Fian N

Penikmat

Menelusuri Bali Dalam Cetik Taluh

Diperbarui: 13 September 2025   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Pixabay

Saya akan membagikan ulang tulisan tentang resensi buku Cetik Taluh yang saya tulis di tahun 2022 silam. Cover bukunya tidak sempat saya simpan dengan baik, yang tersisa hanyalah tulisan ini. 

Judul Buku: Cetik Taluh

Penulis: I Gede Sarjana Putra

Penerbit: Papel Aksara Utama, 2019

Halaman: ix + 111, hlm

ISBN: 978-602-6776-80-8

"Maling intelektual. Yang kemalingan harus ke dokter jiwa."

Membaca sebuah karya sastra, itu menyenangkan. Imajinasi penulis bisa berkenaan langsung dengan pengalaman pembaca. Pembaca tertarik untuk mencari tahu lebih jauh tentang penulis dan karya yang sedang dibacanya. Apa maksud dan tujuan penulis menulis demikian. Ada dugaan-dugaan yang tiba-tiba muncul, apakah ini merupakan kisah dari pengalaman penulis? Atau berkat perjumpaannya dengan orang-orang yang tidak sengaja atau dengan sebuah peristiwa? Hal ini terjadi ketika saya berjumpa dengan Cetik Taluh karya I Gede Sarjana Putra (selanjutnya: IGSP). Sebuah buku kumpulan cerita pendek yang mencuri perhatian saya. Kisah-kisah di dalamnya begitu menarik untuk ditelisik.

Ada banyak kesempatan yang diberikan kepada manusia untuk mencari dan mengumpulkan. Pada momen yang berbeda, manusia juga harus merelakan sebuah kehilangan. Kehilangan kesempatan, kehilangan orang-orang terdekat, kehilangan barang-barang kesukaan dan atau istimewa. Di sini, IGSP seolah sedang menarasikan kebobrokan para intelek di negeri ini dalam kisah Pesan Pencuri melalui tokoh Maun yang adalah warga, Polisi, dokter dan Mang Perni yang adalah pembantu di rumah salah seorang pejabat. "Rumah seorang pejabat disatroni maling. Padahal satpamnya bersenjata dan berjaga bergiliran selama 24 jam penuh. Tembok rumahnya dua setengah meter tingginya. Masih ditambah lagi pagar kawat berduri. Lalu dari mana maling bisa masuk?" Di sini jelas, kesempatan adalah sesuatu yang berharga dalam hidup manusia. Ketika manusia kehilangan kesempatan sedetik saja, maka semua rencana besar selanjutnya pun ikut hilang. Seorang maling benar-benar memanfaatkan kesempatan. Sekecil apa pun kesempatannya, jika dimanfaatkan sebaik mungkin, maka akan berhasil. Seorang pejabat juga adalah seorang maling.

Di dalam kehidupan keluarga Toro pun banyak mengalami kehilangan. Kehilangan rasa hormat antara istri dan suami begitu juga sebaliknya. Antara anak dan orang tua. Tuntutan ekonomi yang mengubah semua itu. Dan ternyata tinggal di kota, benar-benar tidak menjanjikan kebahagiaan serta kedamaian. Hal ini nyata dalam keluhan Toro dan juga kritiknya terhadap dunia pendidikan. "SPP sekolah yang minta ampun mahalnya, hampir sama dengan biaya kuliahku dulu. Ada saja akal-akalan pihak sekolah menarik uang, toh setelah lulus mereka juga tidak peduli dengan nasib alumninya. Sekolah mendidik muridnya dengan pola piramida, hanya satu yang pi puncak. Sisanya hanya penggembira." Pengakuan Toro yang menohok, nyata di dunia pendidikan kita hari ini. IGSP, selaku penulis melihat bahwa akhir-akhir ini bahwa pendidikan kita sangat memprihatinkan. Yang ditulis IGSP, yang juga adalah mantan wartawan, tentu berbasis data melalui pengamatan meskipun itu tidak disertakan di sini. Pengalaman menjadi wartawan, yang mendorong beliau untuk menulis sebuah kejadian nyata seolah-olah fiksi, rekaan. Ini adalah rekaan yang disiasati dengan penuh kehati-hatian. Ya, "apakah ini yang namanya tentang hidup atau memang pola hidup yang salah?" Hidup yang dipenuhi tantangan adalah hidup yang sesungguhnya. Hidup yang dipenuhi kemelaratan adalah hidup yang mengajarkan manusia untuk selalu siap hadapi segala kejutan yang akan terjadi di depan. Sebab, "kemelaratan juga melatih orang menjadi sabar dan tawakal, berani menghadapi penderitaan walau tahu betapa beratnya. Sanggup memikul penderitaan hanyalah konsep. Kekayaan harus diperoleh dengan kerja keras, juga dengan moralitas dan prinsip, kata Gandhi," yang dikutip Toro. Si Toro sadar, bahwa sudah ada yang berubah dengan kehidupan keluarganya dan juga perkawinannya setelah istrinya lebih betah mendandani diri serta sering pulang larut malam. Kebutuhan rumah tangga dipenuhi istrinya. Anaknya sudah berani melawan dirinya dan lebih betah kotak-katik HP. "Perkawinan adalah kontrak sosial dalam suka dan duka. Tidak menerima berarti harus menyingkir. Menerima berarti harus diam. Semua serba salah." 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline