Lihat ke Halaman Asli

Fauzan Fikri

An aspiring linguist and cognitive scientist

Dekonstruksi Bahasa: Menziarahi Makna "Romantis" yang Sejati

Diperbarui: 6 Oktober 2021   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber: www.unsplash.com)

Romantis tidak melulu soal cinta. Di kalangan generasi muda, perkara romansa kerap menjadi motif utama dalam corak kehidupan. Tentu nya, hidup akan terlampau hambar jika memang romansa itu tak pernah ditemukan. 

Namun, di tengah semua gelora masa muda itu, makna "romantis" atau "romantisisme" telah kehilangan akarnya. Pengaruh-pengaruh pop culture dan film seperti Dilan, Dear Nathan, dan lainnya membentuk persepsi bahwa romantis, erat kaitannya dengan rebellious values dalam diri seorang pria yang jatuh cinta.

Oleh karenanya, sudah tak bisa dipungkiri lagi impresi tersebut sekarang membuat kaum wanita lebih menyukai para bad boy sebab terkesan lebih romantis. 

Kini, banyak orang yang mengaku romantis namun pada kenyataan nya, bukan. "Romantis" dewasa ini hanyalah seonggok kata yang bermakna tak lebih dari ungkapan cinta. Penggunaan ini, bagaimanapun juga, tidaklah salah, namun tidak sepenuhnya benar pula.

"Romantis" adalah bentuk kata sifat dari "romantisisme" yang berasal dari kata "roman." "Roman" sendiri merujuk pada salah satu bentuk karya sastra yang populer di Eropa, khususnya di daerah Inggris dan Perancis abad pertengahan. 

Akan tetapi, istilah "romantis" baru muncul di akhir abad ke-18, di mana buah pemikiran baru terlahir; Romantisisme. Sebutan itu pun akhirnya menjadi julukan bagi mereka yang menganut aliran tersebut.

Romantisisme sendiri dibentuk sebagai respon atas revolusi industri dan bangkitnya sistem Kapitalisme yang terjadi pada masa itu (Carter & McRae, 1997). 

Para aristokrat dan pemilik modal menjadi pusat kuasa serta kekayaan. Padang rumput hijau kini sudah berubah menjadi onggokan besi-besi raksasa dengan corong besar penuh kepulan asap menutupi atmosfer. 

Hal ini menyebabkan mereka yang dulu bekerja sebagai buruh tani di daerah pegunungan dan pedesaan terancam kehilangan mata pencahariannya. Lantas, tiada pilihan bagi mereka selain pergi mengadu nasib di kota yang murung, meninggalkan alam juga kehidupan tradisional pedesaan.

Namun, akibat dari kemajuan teknologi perindustrian itu tenaga manusia tak lagi terlalu dibutuhkan. Tangan-tangan manusia kini diganti oleh tangan-tangan besi uap yang dingin tanpa perasaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline