Penting bagi negara-negara yang menghadapi gelombang protes saat ini untuk memperkuat ketahanan sosial-politik dan tidak mudah terjebak dalam permainan devide et impera
Fenomena demonstrasi yang meluas di berbagai negara sepanjang tahun 2025 menunjukkan pola berulang: protes lokal berkembang menjadi kerusuhan nasional, kemudian berdampak geopolitik.
Terdapat kesamaan simbol, narasi, bahkan pola eskalasi antara berbagai negara seperti Indonesia, Nepal, dan Prancis.
Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ada strategi devide et impera modern serta intervensi intelijen asing yang menunggangi momentum politik.
Tulisan ini berupaya menelaah fenomena tersebut melalui pendekatan historis, analisis geopolitik, dan teori operasi intelijen.
Pendahuluan
Demonstrasi pada dasarnya adalah ekspresi politik masyarakat. Namun, sejarah menunjukkan bahwa konflik sosial sering dijadikan pintu masuk operasi intelijen untuk memecah belah negara.
Kasus kudeta di Iran (1953), ketika Perdana Menteri Mohammad Mossadegh digulingkan melalui operasi rahasia CIA dan MI6 (Operation Ajax), yang baru terungkap puluhan tahun kemudian lewat dokumen deklasifikasi.
Destabilisasi Libya (2011) dan Irak (2003) yang diawali dengan protes internal namun diikuti intervensi asing.
Fenomena 2025 menunjukkan pola yang mirip: bendera simbolik (misalnya tengkorak One Piece), narasi solidaritas Palestina, serta rangkaian protes di negara-negara yang menantang dominasi Barat.
Pertanyaannya: Apakah ini kebetulan historis atau bagian dari strategi global?