Lihat ke Halaman Asli

Faisal Haitsam

Berpayah-payah menulis diatas batu, daripada musykil menggores diatas air.

Budaya Mubazir di Tengah Ancaman Krisis Pangan

Diperbarui: 23 Oktober 2022   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi membuang sisa makanan| Dok Shutterstock via Kompas.com

Saban hari, saya terkadang uring-uringan melihat sampah sisa-sisa makanan. Entah itu sayuran di kulkas yang sudah layu atau remah makanan semalam mulai berlendir, hampir basi. 

Padahal kami sudah saling warning untuk tidak meremehkan limbah makanan. Tapi entah kenapa budaya mubazir juga kadang ‘mampir’ di keseharian kami. Menambah deret jumlah masalah rumah tangga yang berkontribusi dalam krisis pangan di negeri ini.

Problem sampah makanan di Indonesia bisa dikategorikan status darurat. Budaya mubazir ini acap kali kita jumpai di mana pun. Seolah menjadi "ritual" keseharian, baik di rumah tangga, di rumah makan maupun di restoran. 

Dalam acara-acara pesta misalnya, sisa-sisa makanan jadi pemandangan lumrah dalam tumpukan piring-piring kotor. Di tengah zaman yang semakin maju dan semakin gemuknya isi dompet, kok pola konsumsi kita semakin primitif, tidak lagi menghiraukan adab makan atau petuah-petuah agama.

Memandang makanan sebatas memperturutkan nafsu memamah-biak saja. Atau dengan lancang tanpa merasa berdosa, kita beralibi: ‘toh saya yang beli, pake uang saya, jadi suka-suka saya’. Di balik budaya mubazir, tak sadar, kita juga punya saham atas problem kelaparan manusia di belahan bumi lain.

Di negeri ini, ancaman kelaparan masih terus mengintai. Di pelosok-pelosok timur Indonesia, kelangkaan pangan sampai anak busung lapar menari-nari di depan mata. Tahun 2021 Indeks kelaparan negara Asean, Indonesia masih di peringkat dua setelah Laos. 

Lanjut menurut Global Hunger Indeks (GHI), dalam skala 0 -100, level kita diangka 18. Gencarnya kampanye kemandirian pangan bangsa ini, masih menyisakan nestapa kelaparan bagi saudara kita.

Saya termasuk berseberangan dengan pendapat para cendekia. Melihat ketimpangan ekonomi dan kelangkaan pangan, murni disebabkan oleh ledakan populasi. Seolah ingin mengatakan sumber daya kita tak cukup lagi untuk dibagi. 

Saya melihatnya ini hanyalah problem ketidakadilan distribusi. Di tempat lain, ada yang kekayaannya tak habis tujuh turunan. Tinggal memilih, menu, dan restoran mana ia santap siang. Di belahan bumi lain, ada yang tak tahu harus makan apa hari ini.

Setali tiga uang, ketimpangan pangan diperparah dengan budaya mubazir sebagian besar masyarakat kita. Data yang dirilis Kompas, nilai sampah makanan di Indonesia mencapai 330 triliun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline