Saya selalu membayangkan pensiun itu seperti pelabuhan yang tenang. Tempat di mana seseorang akhirnya bisa menurunkan sauh, merebahkan tubuh, dan membiarkan gelombang hidup melintas tanpa harus menahannya sendiri.
Tempat di mana semua kerja keras selama puluhan tahun menemukan titik akhir yang damai. Tapi bagi Ayah, pelabuhan itu tak kunjung terlihat. Seperti kapal yang terlalu lama berlayar, Ayah masih berputar-putar di lautan tanggung jawab yang tak selesai-selesai.
Ia Harusnya Sudah Sampai...
Waktu itu, ayah seharusnya sudah pensiun tiga tahun. Tapi setiap kali aku bertanya, "Yah, kapan berhenti kerja?"
Ia hanya tersenyum, menunduk melihat jari-jari tangannya yang mulai menggembung dan bengkak. Kadang menjawab setengah berbisik, "Nanti kalau semua beres."
Masalahnya, "semua" itu tidak pernah benar-benar beres. Utang rumah belum lunas. Anak bungsu belum tamat kuliah. Motor tua belum ganti suku cadang. Biaya berobat Ibu yang makin sering ke dokter. Harga kebutuhan yang terus naik. Dan cucu yang butuh susu formula khusus karena alergi.
Beberapa orang tak pernah benar-benar sampai, karena hidup membuat mereka terus berjalan, demi orang-orang yang mereka cintai.
Tanggung jawab seperti ombak kecil yang tidak pernah berhenti menampar perahu tua Ayah. Satu dua mungkin bisa ditahan. Tapi gelombang ini tak henti-hentinya datang.
Ayah adalah bagian dari Generasi Sandwich Pensiun. Generasi yang belum bisa beristirahat karena harus menopang dua sisi sekaligus: orang tua yang menua dan anak-anak yang belum sepenuhnya mandiri. Mereka berdiri di tengah, terjepit, tapi tetap berdiri. Tetap berlayar.
Ayah dan Sepatu Kulit yang Tak Lagi Empuk
Saya masih ingat sepatu kulit cokelat yang dulu sering Ayah pakai saat berangkat kerja. Solnya kini tipis, hampir tembus. Tapi entah kenapa Ayah tetap memakainya.
Mungkin karena sepatu itu seperti bagian dari dirinya. Bagian dari perannya sebagai penyokong utama keluarga. Bagian dari identitas yang dibentuknya selama puluhan tahun: bekerja dari pagi sampai malam, pulang dengan lelah yang tak pernah diungkapkan.
Pernah suatu malam, saya bangun ke dapur untuk minum, dan melihat Ayah duduk di kursi makan, sendirian, menatap kertas tagihan. Tak ada suara. Tapi ada beban yang beratnya terasa sampai ke kamar tidur saya.
Saya ingin memeluknya waktu itu. Tapi saya hanya kembali ke kamar dan menatap langit-langit, menahan air mata.
Sepatu Ayah memang tak lagi empuk, tapi langkahnya tetap kuat. Karena yang ia pikul bukan sekadar tubuhnya, tapi hidup kami semua.