Lihat ke Halaman Asli

Ketika Jenuh Menjadi Ibu Rumahan

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

rumput tetangga ( terlihat) lebih hijau....

sepertinya petikan peribahasa ini tepat untuk tulisan ini. terkadang seorang ibu bekerja iri melihat ibu tetangga yang tiap pagi hanyavmelambaikan tangan ke arah suami dan anaknya yang berangkat sekolah. sementara ia harus berpacu dengan waktu, berusaha menyelesaikan semua urusan rumah dengan tergesa, dan meninggalkan segala sesuatu yang belum sempat terselesaikan karena harus buru buru masuk kerja. terlintas sang anak yang bahkan belum bangun, suami yang tak sempat menyentuh sarapan karena harus berangkat lebih pagi menghindari macet. sekilas, ia mengulas senyum menyapa ibu sebelah rumah yang masih berdaster nyaman,' mari bu...', dan ia mengayunkan langkah dengan terburu buru, memacu motor semaksimal yang dia bisa,karena ini adalah perumahan, dan walau mentari sudah merekah, banyak anak dan mungkin suami atau istri keluarga lain yang tidak ingin mendengar bising memuali hari.

andai aku hanya ibu rumahan, pikirnya.

sedang dalam hati si ibu berdaster, andai aku adalh ibu bekerja..

ia menghela nafas, dan masuk, menemukan handuk di kamar anak, belum sempat dijemur, kasur yang belum dirapikan,selimut yang masih teronggok diujung ranjang, sebuah keberantakan yang sebenarnya ribuan kali ia ingatkan pada si anak, agar membereskan semuanya tepat saat ia bangun.

rutinitas yang menurutnya tanpa ujung dimulai, kamar anak, meja makan, tempat cuci, kamar mandi, kulkas, dan dapur.

sebenarnya ia telah memulai hari sejak subuh, berjalan dalam ke remangan dan di iringi suara adzan menuju pangkalan sayur terdekat,yang hanya 400 meter dari rumah. mengitari gerobak sayur tak kurang dari dua kali karena bingung, apa yang harus ada di meja hari ini, penuh pertimbangan karena anak sedang kena radang tenggorokan, suami sedang sariawan, jelas sayur pedas dan berkuah santan bukan pilihan, ikan juga bujan pilihan karena sang suami bukan penyuka olahan ikan. ah, pasti ibu sebelah, tidak perlu memikirkan hal ini. toh ia terlalu sibuk bersiap ke kantor, dan suaminya pun pulang larut malam, mungkin langsung tidur. anaknya masih kecil, seringkali disuapi makanan bayi instan oleh pembantunya. tidak ada kebimbangan menu.

sarapan biasanya instan, nasi goreng, nasi dengan tumisan dan telur dadar, atau bila sudah ada persiapan, bisa saja soto,yang artinya akan bertahan seharian sampai makan malam. menu yang terlihat ribet di awal namun menyenangkan karena cukup sekali di masak. namun menu satu untuk seharian jarang ada, ia biasanya memasak dua kali sehari. pagi siang, atau pagi sore.

selesai soal memasak, tengah hari saat pekerjaan terlihat selesai, sang anak pulang, ia harus bertindak sebagai mandor, memastikan sang anak menaruh seragam kotornya ke ember, dan tak lupa mencuci tangan dan kakinya, menyediakan makan siang, mengawasi dan memastikan pr sang anak terselesaikan. dan masih banyak lagi.

semua ini sepertinya menyita waktunya,menguras tenaga, dan tanpa penghargaan apalagi penghasilan. rasanya ia ingin kembali bekerja, meninggalkan segala keberantakan, punya teman kerja, dan memasrahkan rutinitas tak pernah selesai ini pada asisten rumah tangga.

berulang kali ia mengeluh pada sang suami kalau ia bosan, ia ingin suasana lain, namun suami sepertinya tak mengerti, atau lebih parahnya, pikiran ibu rumahan ini membisikinya, kalau suaminya pura pura tak mengerti, kadang ia secara langsung mengatakan ingin bekerja, dan suami hanya menanggapi dengan pendapat apakah sekarang kurang sibuk?, ia ingin membalas dengan mengatakan pekerjaan ibu rumahan tidak akan pernah selesai, kecuali kau berhenti makan,berhenti menukar baju yang kau pakai dengan yang tergantung di almari,berhenti mondar mandir hingga membuat lantainya kotor,... banyak yang ingin ia lontarkan, namun semua itu adalh bentuk amarah, dan seperti yang dulu ia pelajari di bangku kuliah,mengucapkan sesuatu yang penuh amarah hanya akan membawa kepada penyesalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline