Lihat ke Halaman Asli

Ririe aiko

Penulis, Kreator dan Pengajar

Korupsi itu Bukan Karena Tidak Kaya Tapi Karena Miskin Moral

Diperbarui: 2 Maret 2025   16:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : bingimage.com

Kasus korupsi yang menjerat Direktur Utama Pertamina kembali membuktikan bahwa korupsi bukan sekadar soal kebutuhan ekonomi, melainkan persoalan moral dan psikologis. Dengan gaji yang begitu besar, fasilitas melimpah, serta berbagai tunjangan mewah, seharusnya tidak ada alasan bagi seorang pejabat tinggi untuk mencuri uang negara. Namun, kenyataannya, korupsi tetap terjadi. Mengapa demikian?

Jawabannya sederhana: bukan karena kurangnya pendapatan, tetapi karena hilangnya rasa syukur dan tumbuhnya keserakahan.

Banyak orang beranggapan bahwa korupsi terjadi karena kebutuhan finansial yang tidak tercukupi. Jika gaji pejabat tinggi dinaikkan, mereka tidak akan korupsi. Namun, realitas justru menunjukkan sebaliknya. Gaji besar tidak otomatis membuat seseorang puas dengan apa yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin besar pendapatan, sering kali semakin besar pula keinginan dan gaya hidup yang harus dipenuhi.

Seorang direktur utama perusahaan BUMN seperti Pertamina mendapatkan gaji miliaran rupiah per bulan, lengkap dengan berbagai fasilitas mewah seperti rumah dinas, kendaraan dinas, tunjangan perjalanan, dan lain-lain. Tetapi tetap saja, ada yang merasa itu semua belum cukup. Mereka ingin lebih, bukan karena butuh, tetapi karena serakah.

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat bergaji tinggi menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada kurangnya uang, tetapi pada hilangnya rasa cukup. Seseorang yang tidak memiliki rasa syukur akan selalu merasa kurang, seberapa besar pun penghasilannya. Mereka terus membandingkan diri dengan orang lain yang lebih kaya, lebih berkuasa, dan lebih memiliki segalanya.

Dalam psikologi, ada istilah hedonic treadmill, yaitu kecenderungan manusia untuk selalu menginginkan lebih dan tidak pernah puas. Ketika seseorang mencapai satu tingkat kemewahan, mereka segera merasa itu biasa saja dan ingin sesuatu yang lebih tinggi lagi. Mereka tidak merasa bersyukur atas apa yang sudah dimiliki, melainkan terus mencari cara untuk mendapatkan lebih, meski harus melanggar hukum.

Pejabat yang korup bukanlah orang yang kesulitan ekonomi, melainkan orang yang kehilangan batas antara kebutuhan dan keinginan. Mereka lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan tiket untuk memperkaya diri.

Mengatasi korupsi bukan hanya soal menaikkan gaji pejabat, tetapi juga membangun karakter yang kuat, menanamkan integritas, dan membudayakan rasa syukur. Jika seseorang memiliki rasa cukup, ia tidak akan tergoda untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Sayangnya, di dunia yang serba materialistis ini, rasa syukur sering kali dianggap sepele. Kita diajarkan untuk selalu mengejar kesuksesan tanpa pernah benar-benar diajarkan untuk merasa cukup dengan apa yang sudah ada. Pejabat-pejabat yang korup adalah contoh nyata dari mentalitas ini.

Jika seorang direktur utama dengan gaji miliaran saja masih korupsi, itu bukan karena dia kurang uang, tetapi karena dia kehilangan kesadaran untuk bersyukur. Dan selama keserakahan masih menguasai hati para pejabat, korupsi akan terus menjadi penyakit yang menghancurkan negeri ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline