Lihat ke Halaman Asli

Moralitas dan Keadilan Publik

Diperbarui: 16 Desember 2015   12:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Erens Djato

Media massa akhir-akhir ini memberitakan kasus pengangkatan Kapolri oleh Presiden Jokowi. Telah digariskan dalam konstitusi bahwa Presiden memiliki hak prerogatif untuk mencalonkan seseorang menduduki jabatan Kapolri, yang mana kemudian calon tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR. Prosedur penetapan tersebut memang rentan terhadap pengaruh politik kepentingan. DPR sebagai manifestasi suara rakyat pun memiliki andil untuk menentukan siapa yang menjadi orang nomor satu dalam institusi Polri. Para ahli mempertimbangkan aspek moral dalam proses fit and proper test, DPR malah memberi persetujuan terhadap calon Kapolri yang disinyalir memiliki kualitas moral rendah. Asas hukum praduga tidak bersalah dijadikan tameng prosedural untuk meloloskan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Lalu, publik bertanya, apakah proses pencalonan ini merupakan sebuah implementasi kebenaran atau hanya sebuah klise?

Presiden Jokowi di satu pihak mendapat preseden buruk sebagai kepala negara yang tidak konsisten dalam menjaga tradisi rekruitmen jabatan publik. Calon Kapolri pilihan Presiden KomJen Budi Gunawan disinyalir kuat memiliki rekening ‘gendut’ tidak wajar. KPK telah mengumumkan yang bersangkutan sebagai tersangka kasus korupsi. Demi menyelamatkan kewibawaan lembaga penegak hukum, Presiden Jokowi merespon dengan menunda pelantikan Budi Gunawan guna memberi waktu yang bersangkutan menyelesaikan proses hukum yang sedang berlangsung. Saat ini komjen Budi Gunawan sedang mengikuti proses sidang pra peradilan.

Menelisik perilaku pemimpin dewasa ini yang berseberangan dengan nilai-nilai moral, sulit kita bayangkan masa depan pemberantasan korupsi di negeri tercinta ini. Cita-cita memberantas korupsi yang kerap didengungkan seringkali hanya pemanis bibir. Keadilan publik tidak lagi dijadikan pedoman untuk membangun negara dan masyarakat. Moralitas diabaikan begitu saja demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Bangsa ini tengah dirundung berbagai masalah yang sangat pelik mulai dari praksis tatakelola pemerintahan yang menyimpang sampai pada kegagalan pembangunan moralitas. Secara kasat mata terbaca bahwa negeri ini tidak dikelola secara benar oleh para pemimpin yang telah dipercayakan dan yang diberi kuasa oleh rakyat. Hampir semua masalah yang ada di negeri ini berakar dari problem rekruitmen kepemimpinan dari hasil mekanisme politik yang tidak benar. Proses politik yang tak wajar telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki integritas moral dan kapabilitas sehingga kemudian menjadi bandit-bandit berdasi, koruptor kelas kakap. Pemimpin berjubah koruptor semakin merajalela dan meniscayakan berbagai kejahatan, yang pada akhirnya menjadi panutan buruk bagi citra pembangunan moral bangsa ini.

Menjadi sebuah ironi besar, ketika ‘kedaulatan’ hanyalah kata-kata abstrak yang tidak memiliki kekuatan. Para pemimpin hanya ingin menjual martabat negara untuk kepentingan pribadi dan kroni politik. Semangat res publika hilang dan kini berganti menjadi res capital. Berdasarkan realita, begitu mencolok dipertontonkan bahwa negeri ini banyak dikendalikan oleh kaum kapitalisme. Keadilan dengan mudah dapat diperjualbelikan. Koruptor pun bisa diringankan hukumannya bahkan dibebaskan dengan mudah bila ia mampu ‘mengambil hati’ para pemegang kuasa di negeri ini. Banyak koruptor dijadikan sang juara lantaran memiliki kedekatan personal dengan pemimpin lainnya. Negara kita telah banyak memelihara bandit-bandit korupsi berskala akbar.

Kendatipun demikian, publik selalu heran dan takjub atas ketidakadilan prosedural dan pencorengan moral bangsa melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme. Para penguasa percaya bahwa publik mudah dikelabui dengan politik pencitraan atau dengan trik kroni politik. Kasus calon kapolri hanyalah secuil masalah dari lautan kasus rekening gendut lainnya yang ada di negeri ini. Ketika kasus korupsi sudah merasuki semangat peradilan di negeri ini, hukum bisa dipermainkan sesuka hati. Kita lalu bertanya, mau di bawah kemana bangsa dan negara kita ini? Karena semuanya serba suram dan gelap.

Tak dapat disangkal bahwa semua kasus hukum di negeri ini bersangkut paut dengan keadilan publik. Begitu banyak masalah ketaatan hukum di negeri ini selalu bersentuhan dengan rasa ketidakadilan. Dalam banyak kasus yang dilakukan klan penguasa dan selalu sulit dideteksi. Dengan demikian, publik dapat memetik pelajaran utama bahwa keadilan akan sangat sulit ditegakkan. Tentu saja menegakkan keadilan bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga penegakan moral. Hukum harus dijalankan seiring dengan moralitas. Sinisme publik atas suatu keputusan hukum dan politik merupakan cermin dari diabaikannya moralitas dalam konstelasi politik.

Hukum dan moralitas in se dalam suatu negara, tetapi di negeri ini acapkali dianggap tiada. Banyak produk undang-undang dan kebijakan dilegitimasi dengan meninggalkan celah sehingga dapat dicari sisi lemahnya untuk kemudian diperdaya. Bertolak dari realitas buruk di atas, masyarakat niscaya menjalani hidup di alam yang amat buas, bahwa orang-orang kuat selalu menang dan orang-orang kecil harus kalah. Kehidupan publik tidak lagi tunduk pada moralitas. Kenyataan inilah yang akhirnya menghancurkan peradaban kita sebagai suatu bangsa yang beradab. Bangsa ini tidak lagi mematok nilai-nilai moral sebagai tolok ukur keberhasilan tetapi melalui logika kekuasaan dan uang untuk mengkhianati nilai-nilai keadilan. Moralitas pun akhirnya runtuh.

Sejak dahulu, bangsa ini memimpikan keadilan publik yang kuat terpatri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Untuk itu, ada beberapa sikap yang penulis tawarkan agar semua produk kebijakan negeri ini mencapai keadilan publik dan dinahkodai oleh seorang pemimpin yang moralis: Pertama, sikap kritis. Realitas menunjukan bahwa banyak pemimpin tidak mampu menunjukkan persesuaian integral antara pikiran dan kata-kata yang sejalan dengan perbuatan-perbuatan. Jika itu yang terjadi maka dapat dipastikan sang pemimpin telah kehilangan salah satu atribut yang paling esensial dari kepemimpinannya yaitu integritas moral. Orang yang kritis tahu membedakan mana yang menjadi kepentingan pribadi dan mana yang menjadi kepentingan publik. Mereka juga harus mampu mengendalikan diri untuk katakan ‘tidak’ pada KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme).

Kedua, keberanian. Keberanian juga melibatkan ketakutan dan kepercayaan diri. Keberanian berkaitan dengan sikap yang tepat terhadap ketakutan atau kematian mulia di medan pertempuran karena hal itu merupakan sesuatu yang mulia untuk dilakukan. Keberanian merupakan salah satu realisasi dari suatu pelaksanaan tugas sebagai warga negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline