Selama bertahun-tahun mengajar Bahasa Indonesia, saya sering mendengar keluhan yang sama "menulis itu sulit". Kalimat itu bisa keluar dari siapa saja, baik dari guru maupun siswa.
"Saya tidak bisa menulis, Bu."
"Menulis itu perlu bakat khusus."
"Kalau tidak rajin membaca, jangan harap bisa menulis."
Kalimat-kalimat semacam itu begitu sering terdengar hingga akhirnya seolah menjadi "kebenaran umum" yang sulit diganggu gugat.
Namun, hari itu, di kelas saya, pandangan itu berubah total. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa menulis bisa dilakukan siapa pun, bahkan oleh anak-anak yang awalnya merasa tidak mampu. Lebih dari itu, mereka menulis dengan bahagia, dengan tawa, dengan rasa ingin tahu, dan dengan keyakinan bahwa tulisan mereka bermakna.
Kegiatan menulis kali itu sebetulnya bagian dari pembelajaran teks prosedur, salah satu materi dalam kurikulum Bahasa Indonesia kelas IX. Biasanya, ketika sampai pada topik ini, wajah para siswa mulai berubah, ada yang melamun, ada yang memandangi kertas kosong, dan ada yang diam-diam mengeluh, "Sulit, Bu..."
Sebagai guru, saya tentu tidak ingin suasana seperti itu terus berulang. Saya berpikir keras, bagaimana agar anak-anak bisa menulis dengan lancar, tanpa tekanan, dan yang paling penting, hasilnya murni dari pikiran mereka sendiri, bukan hasil menyalin dari internet atau dari buku contoh?
Saya ingin mereka menulis dengan jujur, dari hati, dan dengan pemahaman sendiri. Dari pemikiran itulah, lahir ide untuk menggunakan metode menulis terbimbing. Saya menyiapkan langkah-langkah yang sederhana namun menyeluruh, agar anak-anak merasa tertuntun, bukan digurui.
Langkah pertama, saya memberikan mereka contoh teks esai sederhana. Saya minta mereka membaca dengan cermat, kemudian kami berdiskusi santai.