Lihat ke Halaman Asli

Dilema Soetta di Antara Negara Tetangga

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1294980308219579746

[caption id="attachment_84691" align="alignleft" width="300" caption="Bandara Soetta (dok mdltravel.indonesiatravel.biz)"][/caption] Soetta begitu panggilan akrab bagi bandara terbesar di Indonesia, yaitu Soekarno-Hatta. Bandara yang mulai beroperasi pada tahun 1984 ini dikelola oleh Angkasa Pura II dengan status BUMN. Hingga saat ini, Soetta mempunyai tiga terminal, dengan dua diantaranya digunakan untuk penerbangan domestik. Selisih waktu pembangunan terminal 1 dengan 2, yang diperuntukkan bagi penerbangan internasional, yaitu delapan tahun. Sedangkan, jarak antara pembangunan terminal 2 dengan terminal terbaru (3) mencapai 17 tahun. Pembangunan yang ada sepertinya tidak dibarengi dengan pemeliharaan infrastruktur. Belum hilang dari ingatan kita bagaimana Soetta sempat menggegerkan masyarakat Indonesia, dengan kasus padamnya listrik dan rusaknya sistem radar. Alhasil, beberapa penerbangan mengalami penundaan. Tentunya ini bukan soal yang sepele mengingat Soetta sebagai bandar udara, bahkan bandar udara internasional. Transportasi jenis apapun termasuk pesawat terbang butuh pengamatan hingga pemeliharaan yang sangat detail terhadap seluruh sistemnya. Mengingat nyawa penumpang menjadi ancamannya. Akses transportasi ke bandara pun menjadi faktor yang penting untuk diperhatikan. Tol Sedyatmo yang sempat mengalami banjir karena wilayah hutan mangrove semakin sempit mengingat perumahan semakin banyak dibangun di daerah tersebut. Saat ini, tol tersebut telah diperlebar sekaligus ditinggikan. Permasalahan dapat dibilang telah terselesaikan. Namun, apakah cukup pembangunan dilakukan sampai tahap tersebut? Akses penumpang ke bandara Soetta dapat menggunakan kendaraan pribadi, taksi, hingga Damri. Sejumlah travel pun kini menyediakan jasa dengan rute bandara ke sejumlah tempat di Jakarta, hingga Bandung. Apa yang bisa ditarik dari keterangan tersebut? Alat transportasi yang tadi disebutkan rentan terkena kemacetan. Sekalipun jalan ke bandara ditempuh melalui tol, yang disebut bebas hambatan, nyatanya kemacetan tidak terhindarkan. Salah satunya kemacetan sering terjadi di Tol Tanjung Priuk menuju bandara. Maka, bisa dipastikan bahwa penumpang harus menyediakan waktu lebih untuk menuju bandara demi tidak ketinggalan pesawat. Pembangunan jalur kereta api Manggarai-Soetta yang telah didengungkan sejak tahun 2006 pun belum ada beritanya kembali. Informasi terakhir, masalah dana menjadi salah satu kendala pembangunan. Seperti halnya pembangunan monorail yang terlunta-lunta. Sehingga, penumpang masih harus berjibaku dengan waktu jika ingin menuju ke bandara. Dari sekian keterangan tersebut, pantaslah jika Soetta belum bisa disejajarkan dengan Changi, Kuala Lumpur, dan Suvarnabhumi. Mereka bertiga ini masuk sebagai sepuluh besar bandara terbaik dunia versi Lonely Planet (2010). Miris melihatnya karena ketiga bandara itu letaknya tidak jauh dari kita (Indonesia) alias negara tetangga. Kebetulan keempat bandara ini pernah saya gunakan, dan secara kasat mata memang jelas terlihat perbedaannya. Bukan hanya bandara, maskapainya pun sudah laik disebut kelas internasional. Sebut saja Thai Airways, Singapore Airlines, Malaysia Airlines. Nah, Garuda kita, bisa dilihat perkembangannya yang tertatih-tatih. Kemarin saja sistem informasinya sempat rusak, sehingga jadwal penerbangannya kacau. Mengenai sejarah keselamatan penerbangan maskapai Indonesia yang sudah beberapa kali mengalami kecelakaan, saya pernah mendapat komentar dari salah teman orangtua yang merupakan warga negara Singapura. Dia takut jika naik Garuda, dkk, karena takut jatuh. Dalam hati saya, jangankan dia saya percaya banyak kita, termasuk saya lebih prefer maskapai asing untuk penerbangan internasional dibandingkan maskapai nasional. Kembali kepada kondisi bandara, ketiga negara ini telah menunjukkan keseriusannya dalam menjamu tamunya dengan fasilitas yang komplit. Akses ke bandara bisa menggunakan MRT (sejenis kereta), dan bandara bukan hanya tempat menunggu pesawat, melainkan kita bisa bermain, belanja, makan, hingga tidur sekalipun. Begitu nyamannya karpet di Changi, atau begitu empuk dan panjangnya kursi di Kuala Lumpur, sehingga penumpang bisa "selonjoran." Kita mau makan pun tersedia dalam berbagai pilihan dari kelas minimarket hingga resto atau cafe mewah. Cukup capek jika keseluruhan bandara kita jalani, bandingkan dengan Soetta. Apa yang saya lihat ini adalah saya versi penumpang yang tidak mengerti akan sistem hingga pengelolaan bandara seperti apa teknisnya. Hal yang saya mengerti dan ingin dapatkan seperti penumpang pada umumnya adalah kenyamanan. Terlebih lagi, nyaman di negeri sendiri! Saya percaya bukan tidak mungkin Indonesia bisa punya Soetta yang masuk ke sepuluh besar bandara terbaik dunia. Namun, yang saya ragu, kapan ya? Semoga sesegera mungkin! Amin




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline