Lihat ke Halaman Asli

Eko Ernada

Pengajar, Peneliti, Aktivis Sosial.

"Cancel Culture" dan Demokrasi Kita yang Ringkih

Diperbarui: 25 April 2025   04:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi bahaya cancel culture terhadap kesehatan mental.(iStockphoto/tumsasedgars)

Beberapa waktu terakhir, linimasa media sosial kembali riuh oleh perdebatan lama yang tak kunjung reda: ijazah Presiden Joko Widodo. Di tengah berbagai klarifikasi dari kampus, mantan rektor, hingga mantan ketua Mahkamah Konstitusi, publik digital tetap terbelah. Ada yang membela sepenuh hati, ada pula yang menuntut pembatalan simbolik: agar sang Presiden “dihapus” dari sejarah.

Fenomena ini bukan semata tentang keaslian ijazah. Ia mencerminkan wajah baru demokrasi kita: ruang di mana media sosial menjadi medan tempur opini, dan cancel culture—budaya membatalkan seseorang karena dianggap bersalah di mata publik—tumbuh subur tanpa kerangka etik yang memadai. 

Dalam konteks demokrasi digital, cancel culture memperlihatkan wajah paradoks: ia lahir dari semangat partisipasi warga, tapi kerap berubah menjadi alat eksklusi. Tak ubahnya seperti demokrasi itu sendiri, cancel culture bisa menjadi ruang pembebasan atau instrumen pengucilan.

Lebih dari sekadar pertarungan opini, cancel culture hari ini juga mencerminkan krisis epistemik: siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran, dan dengan cara apa. Teori komunikasi Jurgen Habermas tentang "ruang publik" relevan untuk menggambarkan bagaimana diskursus seharusnya dijalankan melalui argumen rasional dalam iklim deliberatif. Tapi dalam praktiknya, ruang digital kita justru sering didominasi oleh emosi, noise, dan logika viralitas.

Dari Agora ke Twitter

Secara historis, cancel culture bukanlah gejala baru. Dalam Yunani Kuno, praktik ostracism digunakan untuk mengasingkan warga yang dianggap mengancam kota. Mereka tidak dipenjara, tetapi dikucilkan secara legal demi ketenangan publik. 

Dalam kasus semacam ini, pembatalan bukan sekadar penghapusan personalitas, tapi juga bentuk kontrol sosial yang dilembagakan—sebuah cara kolektif untuk memutus pengaruh individu terhadap ruang politik bersama.

Selama Revolusi Prancis, muncul pula semacam “guillotine sosial”, di mana tokoh-tokoh yang dianggap kontra-revolusioner dihukum oleh tekanan massa. Sejak awal, cancel culture mencerminkan ketegangan klasik: antara keadilan moral dan kekuasaan kolektif. Ia mengaburkan batas antara aspirasi moral dan semangat balas dendam. Fenomena ini menunjukkan bahwa sejak lama, masyarakat telah merancang mekanisme untuk mengatur siapa yang layak dipertahankan dalam memori kolektif, dan siapa yang harus dilenyapkan darinya.

Di era digital, fenomena ini mengambil bentuk baru yang lebih cair, instan, dan tidak terorganisir secara institusional. Ruang publik kini berpindah ke Twitter, TikTok, dan Instagram. Netizen dapat menjatuhkan vonis lebih cepat dari pengadilan, lebih viral dari laporan jurnalistik, dan lebih mematikan ketimbang proses hukum formal.

Dalam ruang ini, viralitas kerap menggantikan verifikasi, dan kemarahan kolektif menjadi tolok ukur kebenaran. Seiring dengan itu, algoritma media sosial turut memperkuat bias konfirmasi—mendorong pengguna untuk terus berinteraksi dengan konten yang memperkuat sudut pandangnya, bukan memperkaya perspektifnya. Dengan kata lain, demokrasi digital hari ini tak lagi dibentuk oleh deliberasi, tetapi oleh impuls dan ilusi keterlibatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline