Lihat ke Halaman Asli

Efrem Siregar

TERVERIFIKASI

Tu es magique

Perubahan dan Keanehan di Terminal Tirtonadi Solo

Diperbarui: 10 September 2017   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan menuju Pintu Timur Terminal (Dokumentasi Pribadi)

Saya hendak bertandang ke kediaman teman. Hari Raya Idul Fitri dua tahun lalu. Dari Jakarta menuju kota Solo. Keramaian dan hilir mudik orang-orang di Terminal Pulo Gadung seperti yang selalu diberitakan oleh media.

Semua perantau yang mengadu nasib memulai langkahnya dari terminal. Begitu juga ketika ia beranjak pulang menemui sanak saudara.

Hari itu, pos pengamanan lebaran terlihat mulai dari jalan masuk. Keadaan memberitahu bahwa tempat ini adalah zona rawan untuk mereka yang mudik.

Di hari-hari biasa, kerawanan di dalam terminal adalah cerita dari mulut ke mulut entah sejak kapan mulanya. Mereka yang bekerja di sana  telah terbiasa atau beranjak dari stigma jalanan yang buruk di terminal. Keadaan yang menuntut kepekaan dan kecepatan untuk berburu penumpang. Sementera bagi penumpang, tidak ada kenyamanan.

Terminal adalah dinamika yang kompleks. Ia adalah tempat pemberangkatan, tempat penumpang menunggu bis ke kota tujuannya. Namun realita di sana akan menampakkan wajah berbeda. Orang-orang melihat peluang dan dapat bertindak melenceng dari fungsi yang telah disebutkan.

Suasana semacam ini tentu akan mengaktifkan pikiran setiap orang. Saat itu, saya berada di antara percaya atau tidak sama sekali terhadap orang-orang. Was-was terhadap sekitar. Ah, bukan hanya saya sendiri yang berpikir demikian. Orang-orang lain pun menaruh perasaan yang sama.

Tidak ada jalan lain selain mendengar perbincangan para penjual tiket: apakah bis sudah tiba atau belum, mencontek tiket penumpang, barangkali sama dengan saya.

Memang tidak semua menjadi kaku dan serba mencemaskan, namun sulit menemukan orang-orang yang mampu menuntaskan tanda tanya saya. Maklum, ini adalah perjalan pertama saya menuju Solo.

Bis saya entah berapa lama lagi datang. Bertanya kepada agen dan petugas terminal selalu bermuara pada tema: ini suasana Idul Fitri. Dalam waktu yang tidak pasti ini, saya harus mencari cara untuk melenyapkan kejenuhan dan kebosanan.

Akhirnya saya dapat berbicara dengan penumpang-penumpang lain. Praduga awal saya tadi ternyata terbantahkan. Mereka berbicara tentang kampung halaman, sanak saudara, dan pengalaman mereka selama bertahun-tahun menjalankan ritual mudik. Rasa was-was itu hilang.

Bis berhenti di terminal Titonadi Kota Solo. Debu-debu terangkat dari tanah. Suara kerikil dari cengkeraman ban. Saya membayar dua ratus rupiah kepada petugas, lalu berjalan di antara warung-warung. Pintu keluar Timur ada di ujung jalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline