Lihat ke Halaman Asli

Edy Suhardono

TERVERIFIKASI

Social Psychologist, Assessor, Researcher

Pidato Prabowo Di Mabes PBB: Antara Script dan Spirit

Diperbarui: 23 September 2025   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Prabowo Subianto di KTT Solusi Dua Negara Palestina-Israel di Markas Besar PBB. (YouTube United Nations/Kompas.com, 23/09/2025).

Dalam dunia politik, meramal pidato bukan sekadar menebak diksi, melainkan membaca arah angin ideologis dan psikologis sang pemimpin. Artikel prediktif Edy Suhardono di Kompasiana (2025) mencoba menangkap denyut retoris Prabowo sebelum ia melangkah ke mimbar PBB. Dan ternyata, sebagian besar prediksi itu bukan hanya tepat sasaran, tapi juga nyaris preskriptif: dari harapan akan solusi dua negara, hingga posisi Indonesia sebagai juru damai global.

Namun, seperti semua prediksi, ada celah. Pidato Prabowo yang disiarkan oleh Kompas.com (23 September 2025) menyebut tragedi Gaza secara eksplisit---dengan angka korban, penderitaan anak-anak, dan seruan kemanusiaan yang tidak terdeteksi dalam prediksi awal. Ini bukan sekadar tambahan data, tapi pergeseran nada: dari diplomasi lunak ke keberanian moral. Dalam studi Political Rhetoric and Moral Framing oleh Lakoff (2004), disebutkan bahwa penyebutan konkret penderitaan adalah strategi untuk membangun kredibilitas moral dan menghindari kesan abstrak.

Prediksi juga tidak menangkap bahwa Prabowo akan berbicara dalam bahasa Inggris penuh, sebuah pilihan simbolik yang menunjukkan kesiapan tampil sebagai aktor global. Menurut The Language of Leadership oleh Hart (2010), penggunaan bahasa internasional dalam forum multilateral bukan sekadar teknis, tapi juga sinyal bahwa pemimpin siap bermain di panggung besar. Maka, meski prediksi menangkap kerangka besar, ia melewatkan nuansa performatif yang memperkuat ethos pidato.

Mengapa Prediksi dan Realitas Bertemu

Kesesuaian antara prediksi dan realisasi pidato Prabowo bukanlah kebetulan, melainkan hasil kalkulasi psikopolitik yang matang. Prabowo, yang selama ini diasosiasikan dengan gaya militeristik, tampil sebagai figur reflektif dan empatik. Dalam The Political Mind (Lakoff, 2008), dijelaskan bahwa pemimpin yang mampu menggeser narasi dari kekuasaan ke empati akan lebih diterima dalam konteks global. Prabowo tampaknya membaca buku itu, atau setidaknya memahami logikanya.

Dalam komunikasi politik, pidato tersebut adalah contoh strategi ethos building yang ciamik. Ia tidak menggurui, tidak mengancam, tapi mengajak. Menurut Strategic Political Communication oleh Kaid & Holtz-Bacha (2006), pemimpin yang mampu menggabungkan logika, emosi, dan kredibilitas akan lebih efektif dalam membangun konsensus. Prabowo menyebut penderitaan Gaza, tapi tidak menyudutkan Israel secara eksplisit---sebuah manuver diplomatik yang menunjukkan kehati-hatian sekaligus keberanian.

Yang menarik, pidato ini juga menunjukkan bahwa Prabowo memahami pentingnya framing. Ia tidak bicara soal konflik, tapi soal solusi. Ia tidak bicara soal dendam, tapi soal harapan. Dalam Framing the Debate (Tversky & Kahneman, 1981), disebutkan bahwa cara kita membingkai isu akan menentukan respons publik. Dan Prabowo memilih bingkai yang tidak retak: perdamaian, kemanusiaan, dan masa depan.

Perspektif Multidisipliner atas Ketidaksesuaian

Namun, tidak semua prediksi menjadi kenyataan. Beberapa elemen yang diantisipasi dalam artikel Edy Suhardono tidak muncul dalam pidato resmi. Misalnya, harapan bahwa Prabowo akan menyebut reformasi struktural PBB, termasuk hak veto dan representasi Global South, ternyata absen. Mengapa? Bisa jadi karena kalkulasi diplomatik. Menurut Diplomacy and Global Governance oleh Nye (2011), pemimpin baru cenderung menghindari isu-isu yang bisa memicu resistensi dari kekuatan besar.

Dari perspektif psikolinguistik, prediksi mengasumsikan bahwa Prabowo akan tetap menggunakan gaya bahasa yang tegas dan nasionalistik. Namun, pidato aktual menunjukkan pergeseran ke diksi yang lebih universal dan empatik. Dalam Language and Power oleh Fairclough (1989), dijelaskan bahwa pemimpin yang mampu menyesuaikan gaya bahasa dengan audiens akan lebih efektif dalam membangun pengaruh. Prabowo tampaknya memilih menjadi "global statesman" daripada "domestic strongman."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline