Lihat ke Halaman Asli

Danu Asmara

Pengamat Tiga pilar pembentuk karakter bangsa: Hukum, Pendidikan dan Keluarga.

Otoritarianisme Korporasi: Ketika Kantor Menjadi Rezim Kecil

Diperbarui: 2 Juli 2025   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar ilustrasi: Bullying and gaslighting at work place (Sumber: Sora image generator)

Kekuasaan yang Tak Terbagi di Balik Pintu Kantor

Di balik slogan perusahaan yang memuja profesionalisme dan efisiensi, banyak pekerja di Indonesia diam-diam hidup dalam rezim otoriter mini bernama kantor. Pemilik dan jajaran eksekutif perusahaan menjalankan kekuasaan tanpa batas, tanpa ruang kritik, tanpa sistem kontrol. Semua keputusan bersifat mutlak dan nyaris tak terbantahkan. Bahkan, rapat mingguan bukan lagi forum strategi atau evaluasi, melainkan arena pemakian, ajang mempermalukan karyawan di depan umum.

Fenomena ini bukan sekadar "gaya kepemimpinan keras" --- ini adalah abuse of power yang mengikis martabat manusia. Di sinilah kita menyaksikan wajah korporasi yang tak lagi memanusiakan manusia.

Ketika Ketakutan Menjadi Alat Manajemen

Dalam struktur kerja yang sehat, pemimpin adalah pelindung dan pengarah. Namun dalam struktur otoriter, pemimpin berubah menjadi penguasa absolut. Loyalitas tidak lahir dari kepercayaan, tetapi dari ketakutan. Psychological safety, istilah yang diperkenalkan Amy Edmondson dari Harvard Business School, mengacu pada rasa aman untuk berbicara, mengemukakan ide, atau bahkan mengakui kesalahan di tempat kerja. Tapi dalam korporasi otoriter, rasa aman itu lenyap.

Alih-alih produktivitas, yang tumbuh adalah kecemasan, tekanan darah tinggi, dan burnout kolektif. Ketakutan dijadikan alat manajemen --- dan sayangnya, banyak perusahaan menganggapnya efektif.

HR Tanpa Taring dan Serikat yang Absen

Dalam banyak kasus, departemen Human Resources (HR) justru menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Alih-alih melindungi karyawan, mereka menjadi "perisai" perusahaan dari kritik internal. Sistem pelaporan menjadi tidak aman, karena siapa pun yang melapor bisa berakhir dirotasi, di-nonjob-kan, atau lebih buruk: diintimidasi.

Yang membuat sistem semakin timpang adalah ketiadaan serikat pekerja. Dalam konteks UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasal 104, perusahaan wajib membiarkan pekerja membentuk dan bergabung dalam serikat. Ketika ini tidak terjadi, perusahaan telah melanggar hak mendasar pekerja, yaitu hak berserikat dan bernegosiasi.

Taktik Manipulatif yang Tersembunyi

Pola manipulasi juga tidak dilakukan secara langsung. Banyak yang dilakukan melalui taktik terselubung:

  • Mutasi ke daerah terpencil, jauh dari keluarga, tanpa alasan kinerja.

  • Status non-job: dibiarkan datang ke kantor tanpa pekerjaan, tanpa tujuan, dengan maksud menghancurkan harga diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline