Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Gaya Bahasa Penulisan di Media Cetak dan Media Daring

Diperbarui: 21 Juni 2018   17:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan saya di majalah Museografia dan majalah Intisari (Dokumentasi pribadi)

Menulis di media cetak dan media daring sering kali menemui kendala. Kendala utama tentu saja gaya bahasa. Setiap media memiliki gaya bahasa penulisan yang berbeda-beda. Dalam satu media pun terdapat perbedaan gaya bahasa, seperti gaya bahasa untuk rubrik Opini dan rubrik Feature.

Gaya bahasa untuk rubrik Opini boleh dibilang tanpa kutipan. Hampir semuanya merupakan pendapat si penulis. Tidak heran dalam rubrik Opini sesekali terdapat sanggahan dari penulis lain. Itu sah-sah saja.

Di luar rubrik Opini, ada berbagai rubrik lain. Di kalangan media dikenal sebagai tulisan feature atau human interest. Tulisan demikian biasanya hasil wawancara dengan seseorang atau beberapa orang yang dirangkum menjadi satu. Jadi ada beberapa pandangan. Bisa juga tulisan ilmu pengetahuan yang diambil dari berbagai sumber referensi.

Tulisan saya di Sinar Harapan, Mutiara, dan Kompas (Dokumentasi pribadi)

Gaya bahasa berbeda

Di Kompas saya pernah menulis untuk rubrik Opini, Metropolitan, Sorotan, Teropong, Didaktika, Kompas Anak, dan Kompas Muda. Gaya bahasanya berbeda. Saya sih cuma mengirim tulisan. Mau dimasukkan rubrik apa pun terserah redaksi yang bersangkutan. Pertama, saya menulis tentang arkeologi dan museum. Lalu lama-kelamaan meluas ke bidang-bidang lain, seperti astrologi, palmistri, kesehatan, numismatik, dan pariwisata.

Koran Tempo memiliki gaya bahasa lain lagi. Jangan harap kalau menulis dengan gaya bahasa Opini di Kompas, bisa diterima di Koran Tempo. Meskipun sama-sama terbit harian, keduanya memiliki gaya bahasa masing-masing.

Begitu pula Intisari. Mengingat Intisari merupakan majalah bulanan, gaya bahasanya tentu khusus. Gaya bahasa Intisari mirip dengan majalah bulanan Reader's Digest Indonesia. Sayang, karena terdesak media daring, Reader's Digest Indonesia tutup akhir 2016 lalu. Dibandingkan koran, majalah memiliki kelebihan dalam hal ruangan. Jadi kita bisa mengirim lebih dari satu foto, sebagai pelengkap tulisan. Dengan demikian honorarium tulisan bisa bertambah. 

Tulisan saya di media daring cnnindonesia tahun 2014 (Dokumentasi pribadi)

Media daring

Gaya bahasa di media daring boleh dibilang seperti gaya bahasa di media cetak. Terutama untuk tulisan yang diberikan honorarium. Saya pernah menulis di beberapa web, dan itu tidak menjadi masalah buat saya. Pasti, karena saya sudah sering menulis di media berbayar, artinya tulisan saya disunting redaksi dan memperoleh honorarium.

Tidak masalah pula kalau saya menulis sebagai jurnalistik warga di platform blog macam Kompasiana dan Indonesiana. Boleh dibilang tulisan-tulisan di Kompasiana dan Indonesiana tanpa suntingan, jadi lebih ringan. Gaya bahasa yang digunakan para penulis bermacam-macam. Pokoknya pembaca ngertilah.

Yang menjadi masalah adalah kalau seseorang pernah atau sering menulis di blog pribadi atau platform blog, lalu mengirim tulisan ke media berbayar. Pasti perlu penyesuaian gaya bahasa agak lama. Belum tentu mereka yang aktif menulis di Kompasiana, mampu menembus Kompas cetak. Seleksi di Kompas cetak sangat ketat. Begitu pula di media cetak lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline