Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Kata Ki Mangunsarkoro, Guru yang Tidak Berkarakter Itu Racun Masyarakat

Diperbarui: 12 April 2018   05:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pembicara diskusi tokoh Sarmidi Mangunsarkoro (Dokpri)

Mendengar nama Mangunsarkoro, mungkin yang ada di pikiran kita adalah nama jalan. Jalan Mangunsarkoro memang ada di beberapa kota di Jawa, bahkan Sumatera. Pasti banyak yang belum tahu kalau Mangunsarkoro merupakan pahlawan nasional. Penetapan Mangunsarkoro sebagai Pahlawan Nasional dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011 lalu.

Ki Sarmidi Mangunsarkoro, begitulah nama lengkap beliau, lahir di Surakarta pada 23 Mei 1904. Beliau wafat di Jakarta pada 8 Juni 1957. Demikian diutarakan salah seorang cucunya, Anik R. Yudhastawa Mangunsarkoro, dalam diskusi di Museum Sumpah Pemuda, Rabu, 11 April 2018.

Diskusi menghadirkan pula Rushdy Hoesein, dokter yang dikenal sebagai sejarawan. Uraian dari Anik dan Rushdy jelas saling mendukung. "Hasil diskusi menjadi acuan untuk penyelenggaraan pameran," kata Kepala Museum Sumpah Pemuda, Huriyati. Kegiatan diskusi tokoh Sarmidi Mangunsarkoro dibuka oleh Kepala Subdit Permuseuman, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Dedah R. Sri Handari.

Para peserta diskusi dari berbagai kalangan (Dokpri)

Kongres Pemuda

Mangunsarkoro dikenal sebagai tokoh pergerakan pemuda. Pada 1926 beliau menjadi Ketua Jong Java Afdelling Yogya. Pada 1927 beliau mendirikan "Pemuda Indonesia" Cabang Yogyakarta. Selanjutnya beliau menjadi pembicara dalam Kongres Pemuda di Jakarta pada 28 Oktober 1928.

Mangunsarkoro banyak bergerak di bidang pendidikan (1929-1940). Antara lain mendirikan Taman Siswa Jakarta dan anggota Kepanduan Bangsa Indonesia. Di sisi lain, beliau sangat tidak disukai Belanda karena menentang perundingan Linggarjati dan Renville. Menurutnya, kedua perundingan hanyalah taktik Belanda untuk menguasai kembali Indonesia.

Akibatnya pada 1947-1948, Mangunsarkoro ditangkap Belanda. Beliau dipenjarakan di Wirogunan, Yogyakarta. Pada zaman revolusi fisik itu Mangunsarkoro menjadi kurir penghubung gerilyawan sekitar Yogyakarta. Beliau menyamar sebagai pedagang ubi kayu dengan bersepeda.

Suatu ketika rumahnya di Jalan Notowinatan 60 didatangi Belanda. Mereka bermaksud menembaki Mangunsarkoro, namun peluru menyasar di tembok. Mangunsarkoro berhasil selamat karena sempat melarikan diri dari pintu belakang.

"Sayang karena rumah sewaan, bukti-bukti otentiknya sudah tidak terlihat lagi. Sekarang rumah itu jadi sekolah," kata Anik.

Pada 1949-1950 Mangunsarkoro menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Salah satu gagasannya mendirikan Pendidikan Luar Sekolah. Bahkan menyusun dan memperjuangkan undang-undang pendidikan di parlemen. Produknya adalah UU Pendidikan No. 4/1950, tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah sebagai UU pendidikan RI pertama.

Sarmidi Mangunsarkoro pernah menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (Dokpri)

Menurut Anik, Mangunsarkoro banyak menghasilkan buku. Bukunya yang terkenal berjudul Goeroe yang Tidak Berkarakter Ratjoen Masjarakat (1950). "Coba perhatikan, sekarang guru agama saja mencabuli siswanya," kata Anik. Sayang, sekarang karya Mangunsarkoro banyak terdapat di Universitas Harvard. Bahkan koleksi terlengkap ada di Australia.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline