Lihat ke Halaman Asli

Ditta Widya Utami

Pendidik dan Pembelajar

[Pendidikan] Guru, KPK, dan Bimbel

Diperbarui: 13 Januari 2019   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siswa sedang belajar di lingkungan sekolah, sesuatu yang bisa jadi tidak didapatkan dalam bimbel. (Foto: Dokpri)

Jumat (11/1/2019), Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (BEM REMA UPI) periode 2011, Ali Mahfud, melontarkan bahan diskusi "KPK Sorot Guru yang Membuka Bimbingan Belajar (Bimbel)" di WA Group yang penulis tergabung didalamnya.

Sebelumnya, pada hari Selasa (8/1/2019), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, bertemu dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikud), Muhadjir Effendy. Salah satu hal yang disinggung dalam pertemuan itu adalah pendidikan antikorupsi serta prinsip integritas yang berhubungan dengan bimbingan belajar dari guru (Kompas, 8/1/2019).  

Terkait hal tersebut, secara garis besar muncul dua tanggapan di grup BEM REMA UPI 2011 : (1) Setuju jika guru yang membuka bimbel disorot KPK, dan (2) Munculnya bimbel justru memberikan gambaran kegagalan proses belajar mengajar di kelas. Penulis sebagai praktisi pendidikan juga ikut bersuara menanggapi dua pernyataan tersebut.

Tidak Mengapa Jika Guru Disorot KPK

Pada statement ini, tanggapan berkembang menjadi khusus guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) dan yang sudah mendapat tunjangan sebaiknya tidak membuka bimbel. Artinya, anggota grup masih meridhoi jika ada guru non-ASN yang membuka bimbel (dengan harapan guru tersebut tetap bersikap objektif). Hal ini menunjukkan anggota grup juga sadar bahwa adanya bimbel bisa jadi berkaitan dengan kesejahteraan guru non-ASN, terutama yang mengajar di sekolah negeri.

Jangankan rakyat, bahkan sekelas presiden pun sempat tidak percaya jika masih ada guru yang penghasilannya Rp 300-400 ribu per bulan. Fakta tersebut presiden dapatkan saat menerima Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), di Istana Presiden sebagaimana diberitakan Kompas.com, Jumat (11/1/2019).  

Larangan membuka jasa les sebenarnya telah digulirkan oleh Mendikbud sejak 2016. Namun, jika mengacu pada UU No 20 Tahun 2003, pendidikan nonformal (seperti bimbel) justru legal. Aturan yang melarang guru membuka bimbel memang masih bias. Tidak ada larangan eksplisit bagi guru untuk membuka bimbel baik dalam Kode Etik Guru, UU Pendidikan Nasional maupun UU Guru dan Dosen.

Oleh karena itu, sah-sah saja bagi guru jika ingin membuka bimbel kecuali bila terdapat perjanjian kerja antara guru dan pihak sekolah. Menurut Christine Natalia Musa Limbu, S.H., dalam Klinik Hukum, hal ini sesuai Pasal 1338 alinea ke-1 KUH Perdata yang berbunyi, "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."

Penulis sepakat bahwa adanya bimbel berpotensi pada menurunnya objektivitas guru dalam menilai. Oleh karena itu, kunci utamanya terletak pada integritas dan profesionalitas guru untuk tetap bersikap objektif. Jangan sampai ada anak pintar, namun karena tidak ikut bimbel, nilainya menjadi kecil. Selama guru masih bisa objektif dan profesional dalam menilai, tidak mengapa membuka bimbel. Namun, jika belum mampu, sebaiknya bimbel terbatas bagi siswa yang tidak menjadi murid guru bersangkutan di sekolah.

Adanya Bimbel Merupakan Indikasi Gagalnya Proses Belajar Mengajar di Kelas

Di statement kedua, penulis berada di pihak oposisi karena klausa "gagalnya proses belajar mengajar di kelas" memiliki makna yang terlalu luas. Faktanya, ada beberapa guru yang membuka bimbel justru untuk memfasilitasi peserta didik dengan kemampuan di atas rata-rata sehingga mereka bisa lebih mengeksplorasi kecakapannya masing-masing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline