Lihat ke Halaman Asli

Manggarai: Ketika Tawuran Dijadikan Ladang Cuan

Diperbarui: 1 April 2024   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Properti Pribadi Penulis

Tidak ada yang tidak tahu dengan kawasan Manggarai dengan stasiun terbesarnya di Jakarta. Setiap harinya Manggarai dipenuhi dengan ribuan orang, tapi tidak ada yang singgah untuk menetap. Kawasan yang berada di antara Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, membuat fasilitasnya yang terasa elit, tapi tidak dengan orang di dalamnya. 

Kondisi lingkungan yang selalu dihiasi dengan ke-anarkisan setiap harinya, bisa dibilang Manggarai menyembunyikan jejak kriminal terbesar di seluruh Jakarta. Seperti halnya dengan, tawuran remaja yang kerap terjadi di sana.

Dari tawuran antar sekolah, tawuran antar geng, bahkan tawuran antar wilayah juga terjadi di sana. Seolah tawuran sudah menjadi agenda wajib yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu. 

Itulah sebab yang membuat Manggarai hanya ramai karena kereta, bukan ramai karena ada yang singgah. Hanya orang asli sana atau orang dengan kondisi tertentu yang memilih untuk tinggal di sana. Hal tersebut juga membuat orang tua harus memperketat pengawasan kepada anaknya untuk menghindari pergaulan di Manggarai yang bisa dibilang suram.

Dalam teori Nativisme yang diungkapkan oleh Arthur Schopenhauer, Nativisme adalah cara seorang pendidik untuk mendidik anak untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya sejak lahir. 

Bisa diartikan bahwa apa yang terjadi dengan remaja di Manggarai adalah apa yang dia bawa sejak lahir. Bahkan orang tua, guru, dan lingkungan tidak bisa membuat mereka lepas dengan potensi yang mereka bawa sejak lahir.

Dengan mereka yang sering ikut tawuran, menandakan bahwa potensi mereka sedari lahir adalah apa yang mereka mampu lakukan saat ini. Memang terasa kasar untuk menyimpulkan ini karena tidak mungkin jika seorang anak yang berpotensi ikut tawuran di masa remajanya sudah menunjukkan sikap tersebut saat bayi dengan melakukan tawuran antar rumah sakit persalinan.

Maka dari itu perlu ada teori tandingan yang diungkapkan oleh John Locke, yaitu teori Tabula Rasa atau teori Empirisme. John Locke mengungkapkan bahwa setiap anak terlahir seperti kertas putih kosong, sehingga perlu bimbingan dari orang tua untuk menjaga selembar kertas putih tetap bersih tanpa ada goresan sedikitpun. Selain orang tua, lingkungan juga berperan penting dalam tumbuh kembang anak mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Jadi, apa yang terjadi dengan remaja di Manggarai adalah cerminan  keluarga dan lingkungan yang terbilang kurang berhasil dalam mengembangkan potensi anak. Remaja-remaja yang ikut tawuran, bisa saja memiliki potensi di bidang lain yang membuat menjadi manusia yang 'lebih berguna'. Orang tua atau keluarga, seharusnya menjadi sarana pendidikan pertama bagi seorang anak untuk mengembangkan potensinya, setelah itu diikuti dengan lingkungan.

Jika melihat lingkungan Manggarai, rasanya menjadi wajar jika orang-orang yang tinggal di sana tidak terlalu peduli dengan tumbuh kembang anak. Hal ini dikarenakan tujuan utama dari mereka adalah untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Mereka bahkan tidak kepikiran untuk memiliki anak, itu semua terjadi karena kecelakaan yang diakibatkan pergaulan bebas yang marak terjadi di sana.

Segala hal mereka lakukan untuk bisa memiliki uang, dari pekerjaan halal sampai yang terlarang. Bahkan sempat tersebar isu yang berkaitan dengan tawuran yang terjadi dalam tahun 2022 lalu, bukan disebabkan masalah antar kelompok, tapi disebabkan oleh kepentingan antar kelompok, yaitu transaksi 'barang'. Tawuran tersebut dilakukan di terowongan Manggarai, sehingga polisi atau warga tidak dapat mencegah perselisihan tersebut, yang membuat kegiatan perdagangan tersebut bisa berjalan lancar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline