Lihat ke Halaman Asli

Dikdik Sadikin

TERVERIFIKASI

Akuntan yang Penulis

Ketupat yang Tak Selalu Memadamkan Bara

Diperbarui: 9 April 2025   15:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi: DALL-E)

Ketupat yang Tak Selalu Memadamkan Bara

Oleh Dikdik Sadikin

Lebaran, dalam konteks sosiologisnya, telah menjadi semacam panggung teater kecil. Di sana konflik ditidurkan sebentar, hanya agar bisa dibangunkan lagi di grup WhatsApp keluarga sepekan kemudian. 

SETIAP Lebaran, ketupat disusun dengan telaten di atas piring saji. Mereka kadang seperti penonton yang harap-harap cemas: adakah "perang keluarga" terjadi lagi di sekitar meja makan, justru di hari yang fitri? Ketupat sebagai simbol maaf, rekonsiliasi, dan rumah, tak jarang menjadi saksi bagi pertunjukan tahunan: keluarga yang berpura-pura tidak sedang saling menyimpan bara.

Di ruang tamu yang didekorasi dengan taplak meja bordir dan kenangan yang tak pernah diungkapkan, sepasang saudara duduk berseberangan. Yang satu berkata, "Maaf lahir batin, ya," sambil menyodorkan tangan dan senyum setengah hati. Yang lain menjawab, "Iya, sama-sama," sembari berpikir apakah kali ini ia harus mengungkit warisan yang tidak dibagi rata. Keduanya lalu memotong ketupat, bukan dendam.

Lebaran, dalam konteks sosiologisnya, telah menjadi semacam panggung teater kecil di mana konflik ditidurkan sebentar, hanya agar bisa dibangunkan lagi di grup WhatsApp keluarga sepekan kemudian. Ini bukan rekonsiliasi; ini reses. Seperti parlemen yang menunda keributan demi sesi foto bersama.

Goethe pernah berkata, "Tidak ada yang lebih sulit daripada melupakan." Mungkin karena itu, keluarga kita lebih suka menghidangkannya. Di dalam ketupat yang dibelah rapi, kita menaruh luka yang tak sempat dibicarakan. Di sela-sela lontong dan sambal goreng ati, terselip kemarahan lama yang dibumbui kuah sayur lodeh agar bisa lebih cepat ditelan. Kadang, konflik keluarga justru seperti rendang: makin lama dipanaskan, makin terasa pedasnya.

Ada keanehan kolektif yang kita setujui tanpa musyawarah: bahwa maaf cukup diucapkan, bukan diselami. Maka saat satu anggota keluarga berkata, "Udahlah, jangan dibahas, ini kan Lebaran," yang lain terceletuk, "Tapi kamu yang duluan bilang...," lalu suasana pun pecah. 

Ketupat adalah metafora yang terlalu polos untuk beban psikologis keluarga. Ia dibentuk dari janur yang dirangkai bersilang, seolah menunjukkan betapa ruwet hubungan darah yang dikira otomatis harmonis. Tapi setelah direbus, ia harus dipotong untuk bisa dinikmati. Mungkin seperti itu pula kejujuran: harus dibuka, agar tak hanya jadi hiasan Lebaran.

Namun, betapapun sering drama ini berulang, kita tidak harus terus membiasakannya. Basa-basi bisa dimaafkan, tapi tidak seharusnya dijadikan budaya. Sebab memaafkan tidak sama dengan melupakan. Ia adalah keberanian untuk merangkul luka dan menguburnya dengan kasih sayang.

Dalam Al-Qur'an, Allah bertanya secara tajam:

"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji?"
(QS. Al-'Ankabut: 2)

Silaturahmi di hari Lebaran pun adalah ujian. Bukan hanya soal siapa yang lebih dulu mengirim hampers, tapi siapa yang mampu benar-benar memaafkan, menahan diri, dan membersihkan hati. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline