Lihat ke Halaman Asli

Dicky Wimanjaya

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Konflik Rempang: Pembangunan atau Penindasan

Diperbarui: 24 Maret 2025   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Awal September 2023, konflik di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, mencuat ke permukaan dan menarik perhatian publik nasional. Bentrokan terjadi antara aparat keamanan dan warga setempat yang menolak rencana relokasi akibat proyek investasi yang digadang-gadang pemerintah. Ketegangan ini bermula dari upaya pemerintah mengembangkan Rempang Eco-City, sebuah proyek strategis yang diharapkan dapat menarik investasi besar dan meningkatkan perekonomian daerah. Namun, bagi masyarakat yang telah bermukim di sana selama turun-temurun, proyek ini dianggap sebagai ancaman terhadap hak mereka atas tanah adat dan mata pencaharian.

Ketidakpuasan warga semakin memuncak ketika aparat mulai melakukan upaya pengukuran lahan dan sosialisasi yang dinilai kurang transparan. Aksi protes pun pecah, berujung pada bentrokan antara warga dan aparat yang berusaha mengamankan jalannya proyek. Gas air mata dan tindakan represif memicu kemarahan lebih luas, memperkuat solidaritas masyarakat Rempang dalam menolak penggusuran. Konflik ini kemudian menjadi sorotan nasional, memunculkan pertanyaan besar mengenai keseimbangan antara pembangunan, hak masyarakat adat, dan pendekatan pemerintah dalam menangani sengketa lahan.

Kronologi Kasus

Sejatinya jika kita menilik ke belakang, konflik antara masyarakat yang tinggal di Rempang (masyarakat Rempang) dengan pemerintah telah ada sejak tahun 2001. Dimana pada tahun tersebut, pemerintah memberikan Hak Guna Usaha (HGU) terhadap tanah diatas wilayah Pulau Rempang kepada PT. Makmur Elok Graha (MEG) melalui Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). HGU tersebut diberikan kepada PT. Makmur Elok Graha selama 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun. Pembangunan yang akan dilaksanakan di Pulau Rempang sendiri nyatanya telah direncanakan sejak pertengahan tahun 2004 dengan adanya Surat Rekomendasi dari DPRD Kota Batam pada tanggal 17 Mei 2004, kemudian ada persetujuan bahwa Pulau Rempang dapat dikembangkan menjadi kawasan perdagangan, industri, jasa, hotel, permukiman, perkantoran dan pariwisata yang mencakup Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE). Namun pada tahun 2007 sendiri, proyek pembangunan kepariwisataan kota Batam (Rempang Eco City) diketahui oleh masyarakat Rempang secara luas, dan mendapatkan penolakan dari masyarakat Rempang. Sebagai tambahan informasi, nyatanya meskipun HGU telah diberikan oleh pemerintah, tanah diatas wilayah Pulau Rempang pada kenyataan tidak pernah dikunjungi atau dikelola oleh investor selama bertahun-tahun.

Konflik antara masyarakat Rempang dengan pemerintah barulah membesar dan meluas pada tahun 2023. Dimana pada pada Juli 2023, pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari China terkait pembangunan pabrik kaca dan solar panel di Pulau Rempang sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City dengan nilai proyek sebesar 11,5 miliar USD. Adapun proyek ini diperkirakan akan mampu menarik investasi sebesar Rp 318 triliun hingga 2080. Penandatanganan nota kesepahaman tersebut merupakan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) Tahun 2023, dimana dalam PSN Tahun 2023, pembangunan program pengembangan kawasan Rempang Eco-City menjadi salah satu PSN yang ditargetkan terwujud pada tahun 2023. Ditetapkannya pembangunan program pengembangan kawasan Rempang Eco-City sebagai salah satu PSN Tahun 2023 tercantum dalam Bagian II Nomor 13 Lampiran Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

Sebagai dampak lanjutan dari ditetapkannya pembangunan dan pengembangan kawasan Rempang Eco-City sebagai salah satu PSN Tahun 2023, membuat pemerintah meningkatkan laju pembangunan di kawasan Pulau Rempang. Hal ini bertujuan untuk segera mewujudkan Rempang Eco-CIty yang akan menjadi mesin ekonomi baru di Indonesia dan menjadi kawasan industri, perdagangan, residensial, hingga wisata yang terintegrasi. Kesemua hal ini bertujuan untuk membuka peluang investasi yang nantinya akan bermuara pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.

Akan tetapi, yang disoroti dalam pembangunan dan pengembangan kawasan Rempang Eco-City di Pulau Rempang adalah nasib dan hak-hak masyarakat adat Rempang atas tanah yang sudah ratusan tahun mereka tinggali dan tempati. Proyek pembangunan pabrik kaca dan solar panel di Pulau Rempang sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City serta pembangunan Rempang Eco-City nyatanya berimbas pada penggusuran paksa masyarakat adat Rempang yang berada di kawasan proyek tersebut. Padahal warga telah bermukim, berbudaya khas, dan beranak pinak di kawasan itu sejak ratusan tahun yang lalu, terutama 16 kampung tua di Pulau Rempang. Masyarakat adat Rempang dipaksa meninggalkan kampung halamanya tanpa adanya solusi yang jelas, dalam hal ini tidak ada kejelasan perihal hunian baru dan tempat relokasi bagi warga, selain itu tidak ada juga kejelasan tentang kompensasi (ganti rugi) atas tanah dan hunian yang ditinggalkan oleh masyarakat adat Rempang yang digusur secara paksa.

Atas ketidakjelasan solusi serta adanya penggusuran secara paksa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat adat Rempang membuat masyarakat adat Rempang menolak relokasi dari Pulau Rempang. Akan tetapi, bukannya mengevaluasi dan mendengarkan keluhan warga negaranya, pemerintah Indonesia nyatanya lebih memilih mengambil tindakan represif untuk meredam penolakan relokasi serta penolakan pembangunan Rempang Eco-City yang dilakukan oleh masyarakat adat Rempang. Pemerintah mengerahkan lebih dari 1.000 personel gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, Satpol PP dan Ditpam BP Batam untuk membubarkan massa yang menolak proyek Rempang Eco-City pada 7 September 2023. Dalam pengerahan lebih dari 1.000 personel gabungan untuk meredam penolakan dari masyarakat adat Rempang, yang menjadi sorotan bagi penulis adalah adanya gas air mata yang ditembakan ke arah sekolah-sekolah (SMP 33 Galang dan SD 24 Galang) yang mena penembakan gas air mata tersebut mengakibatkan 11 orang murid dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

Sampai tanggal 18 September 2024, konflik Rempang nyatanya masih belum terselesaikan. Komnas HAM menyebutkan bahwa pemerintah sampai saat ini belum bersedia dan menolak untuk melakukan mediasi dengan masyarakat adat Rempang. Adapun kesemua kejadian ini menunjukkan bahwa hanya demi kepentingan investasi semata, negara merampas hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat adat Rempang terhadap tanah yang seharusnya menjadi hak mereka. Sehingga hal ini memunculkan suatu pertanyaan bahwa pembangunan kawasan Rempang Eco-City sebagai salah satu PSN ini ditujukan untuk siapa? Bukankah pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia itu sendiri. Jika kita melihat keadaan di Rempang, jelaslah pembangunan kawasan Rempang Eco-City tersebut telah menyimpang dari tujuan adanya pembangunan. Hal ini dikarenakan pembangunan tersebut dibangun diatas penderitaan masyarakat Rempang itu sendiri.

Analisis Konflik Rempang Sebagai Pelanggaran Terhadap Konstitusi Indonesia 

Sejatinya konstitusi Indonesia (UUD NRI 1945) telah memberikan pedoman bagi negara dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai organisasi yang melindungi warga negaranya. Akan tetapi, tindakan pemerintah terhadap konflik Rempang nyatanya membuat pemerintah seakan-akan mengkhianati konstitusi itu sendiri. Pengkhianatan terhadap konstitusi tersebut terlihat pada tindakan pemerintah yang mengabaikan dan menyimpang dari tujuan negara Indonesia yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Dimana sesuai dengan tujuan dari negara Indonesia yaitu untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia, dalam hal ini masyarakat adat Rempang menjadi subjek yang seharusnya dilindungi oleh negara. Akan tetapi kenyataan yang ada menunjukkan hal yang sebaliknya, pengerahan lebih dari 1.000 personel gabungan untuk meredam penolakan dari masyarakat adat Rempang dan adanya penembakan gas air mata merupakan contoh tindakan represif dari pemerintah terhadap masyarakat adat Rempang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline