Pelaparan yang terjadi di Jalur Gaza bukanlah sekadar akibat sampingan dari konflik berkepanjangan, melainkan strategi yang direncanakan secara sadar oleh Israel untuk melemahkan masyarakat Palestina. Dengan dalih "keamanan" dan "pengendalian perbatasan", Israel menerapkan blokade ketat terhadap wilayah ini selama bertahun-tahun, membatasi masuknya pangan, obat-obatan, bahan bakar, dan berbagai kebutuhan pokok lainnya.Sejak tahun 2007, Israel secara resmi memberlakukan blokade darat, laut, dan udara terhadap Gaza. Jalur distribusi makanan dan bantuan kemanusiaan dibatasi secara ketat melalui sistem izin yang rumit dan sering kali ditolak tanpa alasan jelas. Kapal bantuan yang mencoba menembus blokade kerap dihadang atau diserang.
Laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia menunjukkan bahwa kebijakan ini sengaja dirancang untuk "menghitung kalori" yang masuk ke Gaza. Artinya, jumlah makanan yang diizinkan masuk hanya cukup untuk mencegah kelaparan massal secara langsung, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi yang layak. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan hukum internasional, yang melarang penggunaan kelaparan sebagai metode peperangan.
Data dari badan-badan PBB mengungkap bahwa lebih dari 80% penduduk Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Krisis pangan semakin parah ketika Israel membatasi pasokan listrik dan bahan bakar, yang memengaruhi operasi rumah sakit, pengolahan air, dan penyimpanan makanan.
Anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Tingkat stunting dan malnutrisi meningkat signifikan. Banyak bayi yang lahir dengan berat badan rendah karena sang ibu kekurangan asupan gizi selama kehamilan. Laporan UNICEF mencatat bahwa krisis pangan di Gaza kini mencapai level darurat kemanusiaan.
Pelaparan bukanlah kebetulan. Ia digunakan sebagai instrumen politik untuk memaksa masyarakat Gaza menyerah atau menekan kelompok perlawanan. Dengan membuat kondisi hidup menjadi nyaris tak tertahankan, Israel berharap penduduk akan menyalahkan pihak perlawanan dan menerima kesepakatan politik yang menguntungkan Israel.
Tindakan ini sejalan dengan strategi "collective punishment" atau hukuman kolektif, di mana seluruh populasi dihukum atas tindakan segelintir pihak. Strategi semacam ini telah dikecam dalam Konvensi Jenewa, namun tetap dilakukan tanpa konsekuensi berarti bagi pelakunya.
Membiarkan pelaparan berarti ikut serta dalam kejahatan itu. Diam sama dengan membunuh. Diam di hadapan kelaparan yang disengaja adalah bentuk dukungan pasif terhadap pembunuhan. Dunia internasional seringkali memilih bahasa diplomatis seperti "keprihatinan" atau "permintaan gencatan senjata" tanpa langkah nyata yang menghentikan penderitaan.
Umat Islam juga harus paham bahwa arah pergerakan mereka untuk menyolusi konflik Palestina, terkhusus untuk menolong muslim Gaza, tidak mungkin hanya bermodal gerakan dan semangat kemanusiaan, sekalipun bukan berarti apa yang sudah dilakukan itu sia-sia. Begitu pula, tidak mungkin masalah Palestina bisa diselesaikan oleh solusi-solusi absurd yang mereka tawarkan, termasuk solusi dua negara yang sejatinya tidak mungkin diterima oleh Zion*s sebagaimana yang kita lihat sekarang, dan justru tawaran solusi ini digunakan untuk menjauhkan umat dari beramal untuk mewujudkan solusi yang sebenarnya. Masalah Palestina dan Gaza hakikatnya merupakan urusan politik dan lahir dari keputusan-keputusan politik yang harus dilawan dengan gerakan dan langkah-langkah politik. Salah satunya adalah dengan fokus membongkar sekat negara bangsa dan mewujudkan kembali satu kepemimpinan politik Islam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI