Saat Ramadan, mau enggak mau dapur menjadi tempat yang sangat aktif di rumah kami. Mungkin juga di rumah-rumah umat Islam yang lain. Ya, karena sebagian besar muslim ingin sahur dan berbuka dengan menu-menu yang lebih nikmat daripada di hari-hari biasa. Dapur pun menjadi sentra memasak yang riuh di bulan Ramadan.
Hampir setiap hari saya belanja sayur mayur dan aneka bahan lauk. Suami membeli buah beberapa hari sekali. Lalu hampir setiap hari pula kami memasak untuk sahur dan berbuka. Saya usahakan menu hari ini berbeda dengan menu hari sebelumnya. Menu esok hari pun akan berbeda. Kami membuat variasi menu setiap harinya agar tidak bosan dan tetap semangat puasa. Dan, ya, kami memang jarang sekali membeli masakan di luar.
Tetapi, apakah menu-menu masakan yang sering kali kami buat bersama itu setiap hari pula bisa habis tak bersisa? Hemm.. kadang enggak habis juga, sih.
Padahal, saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat menu masakan dalam jumlah yang cukup saja, tak terlalu banyak. Saya sesuaikan dengan jumlah keluarga kami yang ada tujuh kepala. Saya perkirakan menu akan habis bagi tujuh kepala itu. Namun, kadang perkiraan meleset. Ada yang tak selera makan, atau tiba-tiba dapat takjil dari masjid atau dari tetangga. Hehe (alhamdulillah). Akhirnya, kadang kami harus rela menu-menu itu bersisa dan berpindah ke tempat sampah.
Sedih.
Sedih karena ingat masakan itu telah diupayakan sedemikian rupa dan dimasak dengan sepenuh hati. Sedih karena harus menerima kenyataan bahwa masakan itu akhirnya menjadi sampah, yang seharusnya bisa kami hindari. Sedih karena sampah masakan itu akan turut berkontribusi dalam pemanasan global yang merusak bumi.
Karena menurut lembaga konservasi WWF, saat kita membuang makanan ke dalam tempat sampah, maka sampah-sampah tersebut akan dibawa dan terkubur di tempat-tempat pembuangan sampah. Saat sampah yang berada paling bawah mengalami pembusukan, terbentuklah gas metana. Gas metana akan merusak lapisan ozon bumi karena gas metana termasuk gas-gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan perubahan iklim.
Di sisi lain, sampah makanan atau food waste itu menciptakan ketidaksetaraan dalam distribusi pangan. Karena di satu sisi makanan dibuang, di sisi lain banyak orang di dunia yang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi.
Rasanya menyedihkan sekali bukan, jika mengingat alur sampah makanan seperti itu?
Jadi sebagai ibu yang notabene merupakan juru masak di rumah, saya pun selalu berusaha memasak secukupnya saja agar tak ada makanan tersisa dari meja makan. Termasuk di saat bulan Ramadan ini. Ibu punya peran besar dalam upaya mengurangi gas rumah kaca. Meski kadang ending-nya tak terduga, tetapi saya tetap berusaha selalu memasak secukupnya saja, untuk meminimalisir adanya sampah makanan. Yang penting sudah berusaha, bukan?