Kadang saya suka gemas lihat berita. Ada pejabat yang hobi flexing tas mewah istrinya, jam tangan langka, sampai liburan ke luar negeri. Tapi coba tengok, ada nggak sih yang flexing koleksi buku di rumahnya? Rasanya jarang banget.
Padahal, justru dari buku itulah otak bisa berisi, nalar berucap bisa runut, dan ketika menyampaikan kebijakan kepada rakyat, pejabat tidak asal njeplak kayak lagi siaran gosip sore.
Nah, di sinilah masalahnya. Bukan sekadar pamer gaya hidup, tapi pamer isi kepala yang dibentuk dari kebiasaan baca buku.
Pejabat dan Koleksi Buku: Cermin Nalar dan Kebijakan
Buku bukan sekadar deretan kertas berjilid. Koleksi buku di rumah pejabat bisa jadi cermin: apakah ia serius mengasah nalar atau hanya mengoleksi tanda tangan kontrak bisnis? Kalau buku diabaikan, maka yang muncul adalah pejabat yang gagap menyampaikan kebijakan.
Lihat saja, studi banding ke luar negeri yang katanya mau belajar sistem pengelolaan sampah modern. Pulang-pulang, hasilnya cuma cerita belanja oleh-oleh dan salah memaknai laporan.
Kenapa? Karena dasar baca buku tentang isu lingkungan nggak kuat. Jadinya sekadar jalan-jalan berlabel "tugas negara."
Studi Banding vs. Studi Bacaan
Ibu-ibu pasti tahu bedanya belanja ke pasar tanpa catatan dengan belanja pakai daftar. Kalau tanpa catatan, ujung-ujungnya belanja yang nggak perlu.
Begitu juga pejabat yang rajin studi banding tapi malas studi bacaan. Mereka bisa salah menyimpulkan. Misalnya, program MBG (Mari Buang Guna) di Eropa dimaknai sekadar kampanye bersih-bersih, padahal aslinya bicara soal circular economy yang kompleks.
Kalau dasar bacaan tipis, hasil studi banding pun meleset. Dan rakyat yang jadi korban karena kebijakan yang dihasilkan nggak sesuai kebutuhan.
Dampak Baca Buku untuk Nalar Berucap
Baca buku itu bukan gaya-gayaan. Efeknya nyata, terutama untuk pejabat. Pertama, nalar berucap jadi lebih tertata. Tidak lagi asal mengutip istilah asing yang bikin rakyat bingung.