Lihat ke Halaman Asli

Media Sosial dan Krisis Kepercayaan Publik terhadap Berita: Antara Manfaat dan Ancaman Polarisasi

Diperbarui: 3 Oktober 2025   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era digital saat ini, media sosial telah bertransformasi menjadi sumber informasi utama bagi banyak orang. Platform seperti Instagram, X (dulu Twitter), dan TikTok menawarkan kemudahan akses informasi yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, kemudahan ini datang bersamaan dengan tantangan besar terkait akurasi dan kredibilitas berita yang tersebar. Pertanyaan krusial muncul: Apakah media sosial lebih banyak memberikan manfaat sebagai penyalur informasi, atau justru memperburuk krisis kepercayaan publik terhadap berita yang sah?

Dalam konteks Indonesia, peran media sosial adalah pedang bermata dua. Meskipun ia memfasilitasi gerakan sosial dan penyampaian kritik, ia juga menjadi akselerator utama penyebaran kabar bohong, secara signifikan memperburuk krisis kepercayaan.

Salah satu dampak negatif utama media sosial adalah maraknya berita palsu (hoaks) dan disinformasi. Platform-platform tersebut menjadi ladang subur penyebaran informasi yang dapat memengaruhi opini publik, menyesatkan masyarakat, dan bahkan mengancam stabilitas sosial-politik.

Di Indonesia, fenomena ini bukanlah isu kecil. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), tercatat adanya temuan lebih dari 1.900 konten hoaks sepanjang tahun 2024 yang tersebar melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Kecepatan penyebaran hoaks ini jauh melampaui upaya verifikasi kebenarannya.

Penyebaran hoaks yang masif ini berdampak signifikan pada tingkat kepercayaan masyarakat. Laporan Ipsos Global Trustworthiness Index 2024 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap profesi jurnalis tergolong tinggi secara global (mencapai sekitar 51%). Namun, angka ini kontras dengan temuan mengenai kepercayaan terhadap berita secara umum. Laporan Reuters Institute Digital News Report 2025 mencatat bahwa tingkat kepercayaan terhadap berita di Indonesia cenderung stagnan dan berada di kisaran angka yang lebih rendah (sekitar 36%).Disparitas ini menunjukkan publik masih percaya pada profesionalisme individu (jurnalis),tetapi skeptis terhadap produk berita keseluruhan di tengah gempuran informasi tak terverifikasi di dunia maya.

Tantangan lain berasal dari cara kerja inti platform media sosial itu sendiri. Algoritma didesain untuk menampilkan konten yang paling relevan bagi pengguna. Namun, hal ini menciptakan ruang gema (echo chamber) dan gelembung filter (filter bubble).Dalam ruang gema, seseorang hanya terpapar pada sudut pandang yang selaras dengan keyakinannya. Hal ini bukan hanya memperkuat bias konfirmasi, tetapi juga menghilangkan peluang untuk terlibat dalam diskusi sehat. Dalam konteks sosial-politik, fenomena ini memperburuk polarisasi. Opini yang ekstrem atau sensasional cenderung lebih viral, dan publik terseret ke dalam perang argumen tanpa basis data yang memadai, yang pada akhirnya merusak kohesi sosial dan menghambat literasi digital.

Untuk memulihkan kepercayaan publik, diperlukan solusi kolektif dari tiga pihak utama:

1. Platform Media Sosial: Harus bertanggung jawab lebih besar dalam mendesain ulang algoritma mereka agar tidak semata-mata mengutamakan engagement, tetapi juga kualitas dan keragaman informasi.

2. Pemerintah dan Lembaga Pendidikan: Harus terus menggalakkan program Literasi Digital yang masif. Literasi digital bukan hanya tentang menggunakan teknologi, tetapi tentang kemampuan kritis untuk menyaring, memverifikasi, dan memahami konteks informasi.

3. Masyarakat: Sebagai konsumen informasi, masyarakat harus mengambil peran aktif dengan bersikap kritis dalam menyaring informasi, membiasakan diri untuk memverifikasi sumber (mencari tahu apakah berita berasal dari media yang terverifikasi Dewan Pers), dan menahan diri untuk tidak langsung membagikan konten yang memicu emosi.

Media sosial adalah alat yang netral; kitalah yang menentukan apakah ia akan menjadi sarana kemajuan atau kehancuran kredibilitas berita. Tanpa adanya kesadaran kolektif dan tanggung jawab yang ditegakkan, krisis kepercayaan publik terhadap berita akan terus memburuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline