Lihat ke Halaman Asli

desi guswita

Desi Kirana

Tangis di Sepotong Tahu Goreng

Diperbarui: 6 Maret 2020   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin bagi sebagian orang sepotong tahu goreng bukanlah apa-apa. Tapi tidak bagiku dan bapak. Jika sore menjelang, maka sepotong tahu yang tersisa di atas meja makan akan membuat kami menangis.

Menangis bukan karna tidak dapat makan-makanan yang layak seperti mereka di luar sana. Melainkan sepotong tahu itu enggan kami makan, agar salah satu di antara kami makan nasi malam hari ada lauknya.

Mungkin, ada yang akan mengatakan, tahu itu harganya murah. Lima ribu perak dapat enam potong. Iya, memang. Pagi sebelum berangkat ke pasar sebagai kuli panggul, bapak akan menggoreng tahu enam potong. Untuk makan pagi kami habis 2 potong. Lalu Untuk bungkusan makan siang, 2 potong untuk bapak dan satu potong untukku. Sehingga tinggal satu untuk makan malam.

Mungkin ada yang bertanya kenapa tidak pakai teri atau ikan kering yang bisa dibeli seharga lima ribuan juga. Bapakku hanya kuli panggul, kadang penghasilannya hanya lima puluh ribu rupiah sehari. Upah yang didapat tidak hanya untuk makan, melainkan untuk ditabung sebagai cicilan hutang ke pada orang dermawan yang ikhlas membantu operasi ibu. Bukan itu saja, semua harta bapak terjual untuk biaya perawatan ibu. Tapi sayang, nyawa ibu tidak bisa diselamatkan karena kanker rahimnya sudah stadium akhir.

Pernah ada keluarga dari pihak ibu, meminta bapak meninggalkanku dengan mereka. Tapi beliau menolak. Katanya aku adalah tanggung jawabnya sampai aku menikah. Makanya kami pindah ke kota ini, agar bapak bisa mencari kerja yang sesuai dengan keahliannya, yaitu montir.

Namun, karena usia bapak yang sudah tua. Serta tubuhnya yang kurus, membuat beliau kesulitan mencari kerja. Akhirnya bapak memutuskan jadi kuli panggul untuk biaya sekolah dan keperluan hidup kami.

Miris, di saat semua teman-temanku bisa jajan di kantin. Aku harus menahan diri, karena tak mau membebani bapak dengan belanja ke sekolah. Lagian sejak SMP aku sudah terbiasa puasa senin kamis, jadi tidak mengapa tidak makan di sekolah.

"Nisa, kamu belum makan, Nak?" Suara berat bapak terdengar dari belakang.

Aku segera keluar, meninggalkan PR yang sedang dikerjakan di kamar.

"Sudah, Pak. Tadi pakai cabenya," jawabku sembari mengambilkan air minum untuk bapak.

Tubuh tuanya basah oleh keringat, wajahnya terlihat sangat lelah. Kasihan bapak, andai saja satu hari nanti aku jadi orang sukses, bapak pasti akan kubahagiakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline