Lihat ke Halaman Asli

Desfina Citra

22107030024 uin sunan kalijaga yogyakarta

Tone Policing, Kiat Membungkam Suara yang Terabaikan

Diperbarui: 3 Juni 2023   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pict by freepik.com 

Apakah kalian pernah ada diposisi mempunyai argumen yang jelas namun lawan bicaramu menganggap bahwa caramu menyampaikan argumen tersebut salah atau berlebihan?

Fenomena ini disebut tone policing.

Tone policing adalah membuat keluhan yang valid menjadi seakan-akan tidak rasional dan memberikan persepsi seakan-akan percakapan itu harus selalu disampaikan dengan suara dan sikap yang tenang. Tone Policing merupakan jenis ad hominem yang ditujukan pada nada argument bukan pada konten faktual atau logisnya.

Walaupun hal seperti ini bisa diterapkan diberbagai peristiwa, tone policing lebih sering dibahas didalam konteks keadilan sosial sebagai alat opresi kelompok yang termarginalkan, dimana seseorang yang berada dalam percakapan tentang penindasan mengalihkan pembicaraan dengan cara fokus ke cara penindasan itu dibahas.

Hal ini sama seperti yang ditulis oleh Ijeoma Oluo dalam bukunya yang berjudul So You Want to Talk About Race, yaitu ketika orang kulit putih mengkritisi cara orang kulit hitam bicara soal rasisme hingga akhirnya muncul stereotype "angry black women" karena sebagai bentuk silence sync terhadap kulit hitam, kelompok orang berkulit hitam sering dianggap terlalu agresif dan emosional ketika membahas tentang diskriminasi ras, dalam hal feminisme dan pejuang kesetaraan gender, seorang feminis sering dianggap lebay dan mudah marah tiap kali membahas tentang patriarki.

Padahal orang yang sering melakukan tone policing itu biasanya tidak dapat membedakan apa itu assertiveness dan aggressiveness, dan sering kali pula orang yang menjadi korban tone policing itu sebenarnya sudah mencoba untuk berbicara secara "sopan" tapi sering diabaikan.

Ketika kita meminta orang untuk "tenang" atau tidak mengekspresikan keluhannya secara berlebihan pada penindasan yang mereka alami itu sama saja kita memprioritaskan kenyamanan pribadi kita dibanding mereka yang menjadi korban ketidakadilan, dan jika kita mengabaikan argument dengan fokus ke nada bicara tersebut, yang akan terjadi kita akan susah memiliki hubungan yang produktif.

Padahal rasa marah, frustasi, dan rasa sakit hati adalah emosi yang valid, terutama saat kita diperlakukan semena-mena atau tidak adil, secara naluriah sebagai manusia pasti kita akan merasa kesal dan marah. Sayangnya sering kali emosi tersebut langsung diberi konotasi hal negatif. Contohnya pada saat kita marah, hal itu terkesan sebagai hal yang salah, akhirnya orang yang sebenarnya pantas untuk marah jadi mengkhawatirkan respon orang lain, terutama perempuan. Perempuan selalu dituntut untuk bersikap membuat nyaman orang lain. Padahal perempuan juga manusia yang bisa bereaksi.

Jika dalam konteks keadilan sosial, tone policing berhubungan erat dengan konsep respectibility politics. Istilah ini pertama kali diciptakan oleh Evelyn Brooks Higginbotham pada tahun 1933. Ia menggunakan istilah respectability politics untuk mendeskripsikan fenomena perempuan kulit hitam dari kelas menengah yang berusaha mendapatkan respect dari orang kulit putih di Amerika Serikat melalui perilaku yang lebih mengikuti etiket sosial elit kulit putih. 

Konsep ini juga mencakup bagaimana kelompok dari orang termarginalkan harus mengekspresikan ketidaknyamanan yang mereka alami atas ketidakadilan dan cara penyampaian itu harus sesuai dengan kenyamanan kelompok yang mempunyai privilege.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline