Ta'lim Muta'allim: Ketika Adab Mengungguli Ilmu di Tengah Krisis Karakter
Burhanuddin Al-Zarnuji, seorang ulama klasik dari Bukhara yang hidup pada abad ke-13 Masehi, mewariskan sebuah karya monumental yang hingga kini menjadi kitab pegangan di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan Islam, yaitu Ta'lim Al-Muta'allim Thariq At-Ta'allum (Petunjuk bagi Penuntut Ilmu tentang Jalan Mencari Ilmu). Di tengah hiruk pikuk modernisasi pendidikan yang mengagungkan kecepatan dan kecerdasan kognitif, pemikiran Al-Zarnuji terasa kian relevan, bahkan menjadi obat penawar bagi krisis karakter yang mendera generasi masa kini. Inti dari pemikiran pendidikan Al-Zarnuji sangat sederhana namun mendalam: Adab (etika) adalah kunci utama keberhasilan menuntut ilmu, bahkan harus didahulukan sebelum ilmu itu sendiri.
Orientasi Pendidikan: Bukan Sekadar Gelar Duniawi
Al-Zarnuji menekankan bahwa tujuan menuntut ilmu haruslah luhur, yakni semata-mata untuk mencari keridaan Allah SWT, menghilangkan kebodohan dari diri sendiri dan orang lain, serta melestarikan syiar Islam. Beliau dengan tegas mengingatkan bahaya mencari ilmu hanya untuk mengejar kedudukan, popularitas, atau harta duniawi.
Dalam konteks kontemporer, di mana gelar akademis seringkali dijadikan tolok ukur kesuksesan finansial semata, ajaran ini berfungsi sebagai kritik. Pendidikan Islam, menurut Al-Zarnuji, harus mengembalikan orientasi ke ranah spiritual (ukhrawi) dan moral (duniawi), memastikan bahwa ilmu yang didapatkan menjadi media taqarrub (mendekatkan diri) kepada Tuhan, bukan sekadar alat untuk menumpuk modal sosial atau kekayaan.
Tiga Pilar Penting dalam Ta'lim Muta'allim
Pemikiran Al-Zarnuji tidak hanya berkutat pada niat, tetapi juga memberikan panduan praktis melalui tiga pilar penting yang tetap relevan:
Pengagungan terhadap Guru dan Ilmu (Ta'zim): Al-Zarnuji mengajarkan bahwa ilmu tidak akan bermanfaat tanpa mengagungkan (menghormati) guru dan ilmu itu sendiri. Hormat kepada guru adalah prasyarat spiritual bagi masuknya barakah ilmu. Di era digital, di mana informasi mudah diakses tanpa perantara dan otoritas guru sering diabaikan, konsep ta'zim ini mengingatkan kita bahwa proses pembelajaran adalah relasi yang mulia dan membutuhkan kerendahan hati.
Kesungguhan dan Kegigihan (Shidq wa Istiqamah): Beliau menyebutkan enam syarat yang harus dipenuhi seorang penuntut ilmu (seperti yang termasyhur dalam nadhom-nya: dzakaa'in wa hirshin wa shobrin wa bulghotin wa irsyadi ustadzin wa thuli zaman). Poin-poin ini, seperti kecerdasan, kesungguhan, sabar, dan waktu yang lama, menegaskan bahwa ilmu adalah harta yang mahal, yang tidak bisa diperoleh secara instan (sekali klik). Ini adalah pesan penting bagi generasi "serba cepat" saat ini.
Memilih Ilmu dan Teman yang Tepat: Al-Zarnuji menekankan pentingnya memilih ilmu yang bermanfaat (ilmu haal) dan menghindari teman yang membawa dampak buruk (seperti pemalas atau perusak). Prinsip ini sangat aplikatif di zaman media sosial, di mana "lingkungan pergaulan" telah meluas ke dunia maya. Konsep memilih teman yang wara' (berhati-hati) dapat kita relevansikan sebagai sikap selektif terhadap konten yang dikonsumsi agar akal dan hati tidak dipenuhi oleh hal yang sia-sia dan maksiat.