Lihat ke Halaman Asli

Deddy Husein Suryanto

TERVERIFIKASI

Content Writer

Polemik Tara Basro Karena Kita Sering Cepat Menilai?

Diperbarui: 7 Maret 2020   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tara Basro dalam rangka promosi film Gundala beberapa waktu lalu. | Gambar: Kompas.com

Pada 2017 lalu, penulis pernah membuat catatan pribadi---di buku catatan---tentang mata dan kepala (baca: otak). Isinya kurang lebih tentang perbedaan fungsi antara mata dan kepala.

Mata ditujukan untuk melihat saja, sedangkan untuk memikirkan apa yang dilihat oleh mata itu adalah fungsi kepala. Mata seharusnya tidak mengontrol kepala, karena kepalalah yang seharusnya mengontrol mata.

Intinya begitu, karena menurut pengamatan pribadi yang sederhana, penulis berpikir bahwa selama ini kita seringkali tertipu oleh apa yang kita lihat. Mengapa?

Karena tidak jarang kita sudah merasa puas dengan apa yang kita lihat dan langsung dapat menghasilkan penilaian terhadap apa yang kita lihat itu. Padahal penilaian biasanya merupakan hasil dari kerja kepala bukan hanya mengandalkan kerja mata. Inilah yang patut dicermati.

Halaman kedua dari catatan yang dimaksud. | Gambar: Dokpri/DeddyHS_15

Menariknya, saat itu penyebab dari pembuatan catatan tersebut juga berawal dari fenomena unggahan (feed) di sebuah media sosial yang kini sangat familiar bagi kita, Instagram. Saat itu penulis masih memiliki akun Instagram dan seringkali memperoleh unggahan terbaru setiap hari dari "yang diikuti" oleh penulis.

Siapa pun. Dari figur publik, akun-akun media massa, teman sekelas hingga teman seorganisasi di kampus. Lalu, apa yang membuat penulis memiliki catatan itu?

Tidak lebih karena penulis selalu mendapati setiap unggahan di IG adalah cerita terbaik yang mereka (dan kita) miliki. Entah dari yang inspiring hingga yang annoying, semua ada.

Awalnya penulis merasa hal itu biasa saja. Ada kalanya memang kita sangat menggandrungi sebuah media yang dapat menjadi tempat bercurah kata tentang kehidupan terkini yang dialami. Penulis pun menjadi bagian dari itu.

Namun, yang menjadi pemikiran selanjutnya adalah ketika penulis mulai menyadari bahwa setiap unggahan itu pada akhirnya tidak sepenuhnya mewakili apa yang sedang terjadi. Ataupun yang paling mengkhawatirkan adalah ketika unggahan-unggahan itu tidak mewakili karakter maupun keseharian dari orang tersebut.

Bagi yang tidak "berburu" teman, kalimat kedua dari paragraf di atas akan jarang terpikirkan. Namun bagaimana jika ada yang sedang berburu teman dan hanya berpatokan pada feeds di akun medsos tersebut?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline