Narasi yang mengemuka jelang Pilpres 2019 sering menimbulkan lelucon dan layak sebagai hiburan bagi publik. Thema yang diangkat capres dalam orasinya adakalanya mengundang tawa. Selain minim ide-ide baru yang menawarkan pengharapan, pidato capres juga sarat dengan hujatan sehingga tidak menarik sebagai media proses pembelajaran politik, miskin bahan menarik.
Menjelang tutup tahun 2018 jagat kontestasi Pilpres 2019 diwarnai tawaran kontes membaca Al-Quran bagi Capres, mendengar usulan ini kontan menjadikan jagat perbincangan politik riuh, sudah barang tentu perdebatan juga mengarah kontraversi.
Sebelumnya juga sempat terdengar usulan melakukan kompetisi bermain basket bagi wakil presiden, sudah barang tentu ususlan ini mengemuka karena Sandiago Uno dianggap pintar bermain basket, sementara K.H. Maruf Amin diasumsikan tidak memiliki keterampilan bermain basket. Disisi lain munculnya tawaran lomba Al Quran karena diasumsikan Capres Joko Widodo pasih membaca Al Quran sedangkan Prabowo Subianto dprediksi kurang lancar.
Inilah fenomena terlihat secara kasat mata sebagai indikator memperlihatkan bahwa kedua pihak yang berkompetisi tengah terjerumus dalam pertarungan tidak substansial, hanya meluncurkan narasi berorientasi meramaikan bahan perdebatan di media mainstream, dan hanya berupaya meningkatkan statistik ke-viral-an di media sosial tanpa peduli nilai-nilai edukasi politik.
Karakteristik praktek politik prosedural tanpa peduli substansi diprediksi masih akan mewarnai perdebatan dalam kompetisi Pilpres di tahun depan. Ini terjadi karena team pemenangan, bahkan kontestan Pilpres juga miskin ide lateral, tunaidiologi dan tidak mampu berpikir lateral memproduksi keunggulan komperatif yang lain dari yang ada.
Jika memang benar-benar terjadi pertarungan Pilpres 2019 tanpa ada penawaran ide-ide baru kreatif dan solutif memperbaiki kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara betapa naifnya politisi kita dewasa ini ? Dan betapa mahalnya biaya yang terbuang karena demokratisasi tidak bermutu ini !!! Suka tidak suka, atau sadar atau tidak sadar inilah salah satu faktor penyebab terdegradasinya nilai-nilai mulia demokratisasi dan menyebabkan semakin tinggi angka ketidakhadiran di bilik suara.
Elit politik hanya sibuk dengan kerangka berpikirnya, asik hanya mengeksekusi apa yang ada dibenaknya tanpa memperdulikan apa yang tengah dipirkan oleh calon konstituen. Elit politik yang sibuk dengan libido pribadinya ini menimbulkan kemandulan kemampuan memproyeksikan dirinya kedalam diri masyarakat.
Ketidak mampuan merasakan persis apa yang dirasakan masyarakat oleh elit politik memandulkan dirinya sendiri untuk mampu memahami keinginan rakyat, dan kemudian merontokkan kemampuannya mendesain dan menawarkan program yang sesuai dengan permintaan masyarakat. Tidak terjadinya titik ekuiliberium antara permintaan dan penawaran akan memperburuk arti sesungguhnya demokrasi.
Memahami Harapan Rakyat
Pemilihan Presiden sebagai anak kandung demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada esensinya merupakan memilih pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat dan memilih pemimpin yang diharapkan mampu memenuhi harapan rakyat. Pada intinya itulah substansi Pemilihan Presiden sehingga Pilpres tidak layak hanya dilaksanakan secara prosedural belaka dengan perhitungan kalah menang tanpa memperdulikan prosesnya.
Agar mampu memenuhi harapan rakyat sudah barang tentu langkah pertama yang harus dilakukan adalah kesediaan diri memproyeksikan diri kedalam diri masyarakat, agar dapat memahami persis apa yang sedang dirasakan masyarakat sehingga kemudian mampu memberikan sesuatu yang benar sesuai dengan keinginan masyarakat.