Lihat ke Halaman Asli

Apakah Agama Menghalangi Kemampuan Berpikir?

Diperbarui: 21 Maret 2024   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Cartoon Movement

Beberapa individu masyarakat Indonesia telah terekspos pada gagasan-gagasan freethinking. Gagasan ini menuntut seorang pribadi harus diberikan hak sebebas-bebasnya untuk berpikir secara luas. Alhasil, tampak bagi para freethinker ini bahwa agama ternyata menjadi suatu penghalang yang menyeramkan. Mereka melihat bahwa agama berfungsi sebagai polisi yang siap mendisiplin pikiran mereka sehingga tak sedikit individu yang takut berpikir secara luas sampai ke ranah "radikal".

Saya sendiri setuju dalam beberapa aspek argumentasi para freethinker ini. Melalui lensa Deleuzian, saya dapat melihat bahwa agama adalah bentuk teritorialisasi. Namun, pada saat yang sama pun saya tidak ada masalah dengan hal ini. Toh, sains normal juga adalah sebuah teritorialisasi. Keduanya identik hanya berbeda dari segi epistemologinya saja.

Pada titik ini, Anda mungkin kebingungan apa yang dimaksud dengan teritorialisasi dan alasan saya menyamakan agama dengan sains. Bukankah keduanya berbeda? Territorialisasi bisa dipahami juga sebagai aktualisasi mengingat territorialisasi dapat dimaknai sebagai sebuah pemberian identitas dan secara inheren, pembentukan batas-batas teritori dari sesuatu di dalam realitas. 

Contoh sederhana dari territorialisasi dapat ditinjau dari sisi seorang individu. Apabila saya mengaku bahwa agama saya sebagai Kristen Ortodoks, saya akan mengaktualisasikan sesuatu dari alam virtualitas yang saya bawa seiring dengan keberadaan saya. 

Virtualitas dalam konteks ini dilihat sebagai suatu possibilitas tanpa batas mengingat ia bisa dipandang secara gamblang sebagai potensi-potensi versi diri saya. Identitas Kristen Ortodoks telah saya bawa ke dalam alam aktual sehingga lahir batas-batas pribadi yang muncul akibat identifikasi saya tersebut.

Batasan tersebut tidak bersifat negatif pada dasarnya. Menurut Todd, M. (2005) Territorialization is not the enemy to be overcome. Or rather, it only becomes the enemy when we become blind to deterritorialization

Hidup adalah soal aktualisasi karena saya dan Anda hidup di dunia yang aktual. Namun, kita semua harus mengingat bahwa ada dunia virtual di luar sana. Tak sebatas virtualitas diri saja, seluruh keberadaan realitas juga hadir secara virtual dalam bentuk possibilitas tanpa batas. Salah satu possibilitas ini memang akan diaktualisasi dalam konteks tertenu.

Dengan demikian, kita perlu menyadari bahwa aktualisasi (dalam konteks individu saya rasa territorialisasi adalah istilah yang lebih lebih cocok) didasarkan pada kondisi yang kontekstual. Di kala berpikir, manusia harus mampu mendeterritorialisasikan dirinya dari tatanan dan paeadigma pikiran apapun, bahkan sains normal.

Berangkat dari pemahaman terhadap territorialisasi realitas, sains normal dan agama tidak ada bedanya. Keduanya adalah konsensus cara pandang tentang sesuatu di alam semesta ini. Menggunakan sudut pandang sains normal berarti meninggalkan potensi wangsit lewat paradigma lain. Hal ini mengindikasikan bahwa sains akan menterritorialisasi diri kita dengan cara khasnya tersendiri.

Namun, saya tidak memandang sains dan agama benar-benar secara identik. Sains secara keseluruhan bersifat dinamis karena selalu bersedia mengoreksi dirinya sendiri lewat prinsip falsifikasi dan selalu siap bergeser paradigmanya. Contoh mudahnya adalah pergeseran paradigma gravitasi Newtonian dengan relativitas dan fisika mekanika deterministik dengan fisika kuantum probabilistik.

Agama dengan begitu dapat kita pandang sebagai singgahan sementara bagi pertanyaan realitas yang tidak terjawab, layaknya singgahan lain seperti sains normal. Singgahan berarti sebuah teritori sementara yang ditempati pikiran kita sewaktu belum kita aktualisasikan sebuah kemungkinan lain. Menganut sebuah agama tidak akan pernah menjadi sebuah masalah apabila seorang mampu keluar dari teritori yang ia masuki. Oleh karena itu, manusia diharapkan mampu bersikap dinamis, layaknya alam semesta itu sendiri yang bersifat dinamis dan ekspresif menurut konteks.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline