Kalau lu sering nongkrong bareng anak-anak Gen Z, atau minimal sering scroll TikTok dan Twitter (X maksudnya), pasti pernah denger istilah "kalcer". Bukan, ini bukan typo dari "culture", walaupun inti akar katanya memang dari situ. Tapi yang menarik, istilah ini bukan sekadar plesetan tetapi, "kalcer" udah jadi bagian dari gaya bahasa sekaligus gaya hidup anak-anak muda zaman sekarang. Bukan cuma gaya-gayaan, tapi juga jadi cara mereka mengekspresikan diri.
Awalnya, "kalcer" jelas berasal dari kata "culture" dalam Bahasa Inggris yang artinya budaya. Tapi anak-anak muda Indonesia emang jago banget ngolah bahasa. Culture yang terlalu kebarat-baratan dilafalkan ulang, disesuaikan lidah lokal, dan boom (kalua kata anak sekarang), jadilah "KALCER". Dari situ, kata ini punya hidup sendiri, coba aja denger percakapan mereka:
"Bro, lu nonton konser Ardhito? Kalcer banget lu".
"Gue lagi ngulik fashion Jepang era 90-an, lagi ngejar kalcernya".
Nah tapi juga bikin penasaran. Apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan "kalcer" ini?
Istilah ini biasanya dipakai buat menandai sesuatu yang lagi ngetren atau dianggap representatif dari gaya hidup tertentu. Bisa soal musik, fashion, gaya nongkrong, cara ngomong, bahkan makanan. Gen Z bisa bilang kalcer buat apa pun yang menurut mereka keren, unik, atau relevan sama identitas kelompoknya. Yang menarik, makna kalcer ini fleksibel. Hari ini lu bisa jadi anak kalcer Korea karena ngefans K-pop dan K-drama. Besok lu berubah jadi anak kalcer indie karena nongkrong di coffee shop, dengerin folk lokal, dan baca puisi. Lusa lu bisa masuk ke kalcer Jepang, kalcer lokal, atau bahkan kalcer absurd kayak "kalcer ngopi sachet di warung sambil ngebahas eksistensialisme".
Kalcer itu semacam identitas cair. Lu bisa pindah-pindah sesuai mood. Bisa jadi cermin dari apa yang lu suka, apa yang lagi lu dalami, atau sekadar hal yang lu nikmati di waktu senggang. Dan itu sah-sah aja. Karena buat Gen Z, identitas itu bukan sesuatu yang kaku. Mereka tumbuh di dunia yang cepat banget berubah. Hari ini tren ini, besok tren lain. Mereka sangat adaptif, jadi jangan heran kalau mereka juga fleksibel dalam menunjukkan siapa mereka.
Tentu aja, ada juga yang bilang kalcer itu cuma gaya-gayaan. Yang penting tampil estetik, bisa pamer di Instagram atau TikTok, biar keliatan keren. Ada benarnya juga. Tapi apakah itu salah? Nggak juga. Dalam dunia yang sangat visual dan performatif kayak sekarang, tampil adalah bagian dari komunikasi. Kalcer jadi cara buat ngasih tahu: "ini gue, ini yang gue suka." Bahkan kadang itu jadi bahasa yang lebih kuat dari kata-kata.
Media sosial berperan besar dalam penyebaran istilah ini. TikTok, Instagram, YouTube, dan X jadi panggung utama buat kalcer-kalceran. Anak-anak muda bikin konten sesuai dengan kalcer yang mereka suka. Ada yang bahas kalcer Jepang, kalcer senja, kalcer indie lokal, kalcer motor klasik, kalcer vintage, sampe kalcer absurd macam estetika gorengan. Yang lucu, bahkan istilah "anak kalcer" kadang dipakai buat menyindir mereka yang terlalu ngikutin tren tapi nggak paham isinya. Tapi di sisi lain, media sosial juga bikin budaya jadi lebih terbuka dan demokratis. Semua orang bisa nunjukin budaya yang mereka anggap menarik, meski sebelumnya nggak populer.
Salah satu perkembangan keren dari fenomena ini adalah kebangkitan kalcer lokal. Anak-anak muda makin banyak yang bangga dengan budayanya sendiri. Mereka ngulik musik daerah, bahasa ibu, kuliner kampung halaman, dan ngeramu itu semua jadi konten keren. Budaya lokal yang dulunya dianggap kampungan sekarang naik kelas, asal dikemas dengan gaya yang pas. Dangdut remix, bahasa daerah dalam meme, batik dalam gaya streetwear, semuanya bisa masuk jadi kalcer yang dibanggakan.