Lihat ke Halaman Asli

Daniel Mashudi

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Mencari Jejak Selokan Manggis

Diperbarui: 17 April 2020   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Magelang. Saya kerap melewatinya ketika dalam perjalanan menuju Yogyakarta, atau ketika mengunjungi candi Borobudur. Selain itu, tidak banyak yang saya ketahui tentang Magelang.

Beberapa bulan lalu saya membeli sebuah novel berjudul Mangun. Novel ini berkisah tentang kehidupan Y. B. Mangunwijaya (Romo Mangun) sejak kecil, menempuh pendidikan, serta perjuangannya membantu warga di Kali Code, Yogyakarta serta Kedung Ombo.

Selain mengisahkan tentang Romo Mangun, ada bagian dari novel ini yang menceritakan tentang Magelang. Romo Mangun sendiri semasa kecil hidup bersama orang tua dan adik-adiknya di kota ini. Ada deskripsi tentang Magelang di tahun 1940-an yang bagi saya cukup menarik ditulis di novel Mangun ini.

"Kotanya tidak besar tapi apik, bersih, dan rejo yang ditata sedemikian rupa oleh Kolonial Belanda hingga terkesan alami dan mumpuni sebagai tempat pemerintahan daerah, perdagangan, dan hunian tinggal. Berstatus gemeente yang oleh orang pribumi dilafalkan haminte, berarti kota praja. Letaknya di jalur transportasi utama daerah-daerah yang meruah hasil pertaniannya," salah satu kutipan di novel Mangun.

"Di pusat kota, banyak terdapat bangunan besar-kecil bergaya kolonial yang menawan dan tinggi nilai estetikanya. Bentuk dan warnanya menyenangkan mata. Pohon-pohon asam yang rindang di sepanjang jalan seperti ratusan orang kasmaran yang sedang menumbuhkan janji setia. Mereka mengapit setiap baris jalanan yang memanjang dan meliuk dengan sangat tertib."

Bagian menarik lainnya adalah tentang sebuah selokan yang benama Selokan Manggis. Selokan ini menjadi salah satu tempat bermain bagi Mangun dan teman-teman semasa kecilnya.

"... Bosan menanti layangan nyasar, mereka berenang senang di jalur kanal di atas tanggul yang membelah kota seperti dua belah labu matang, tingginya kira-kira delapan meter. Atau terjun bebas di Selokan Manggis sambil mengapung dengan debog, dan terus mengikuti aliran airnya yang panjang sekali hingga ke tepian kota. Airnya berwarna bening kecoklatan. Saban pagi dan petang selokan itu juga ramai didatangi para ibu untuk mencuci pakaian. Ah, sungguh nikmat tiada tara. Endhas pethak ketiban empyak, bagai kepala botak dikipasi... "

Beberapa foto hitam putih juga ada di novel tersebut. Seperti keluarga dan rumah masa kecil Romo Mangun, dan foto Gereja St. Ignatius Magelang, gereja masa kecil Mangun dan keluarganya, yang masih berdiri hingga sekarang.

dok. istimewa

Saya sendiri penasaran dengan tempat-tempat yang dideskripsikan di atas, dan ingin melihatnya secara langsung kondisinya saat ini. Bagaimana perubahan yang terjadi, atau malah sudah tidak ada lagi. Entahah, saya belum tahu.

Kebetulan setelah membaca nove Mangun, ada even Borobudur Marathon 2019 (bulan November lalu). Waktu itu saya berniat mengunjungi tempat-tempat yang dideskripskan pada novel setelah saya selesai mengikuti lari. Sesuai namanya, Borobudur Marathon (Bormar) mengambil lokasi di candi Borobudur. Rute larinya di kompleks candi dan daerah sekitarnya.

Saya pertama kali mengikuti Bormar pada tahun 2016. Setelah absen di tahun 2017 dan 2018, saya mendaftar lagi di tahun  2019. Baik di tahun 2016 dan 2019, saya ikut di nomor Full Marathon (42 kilometer). Sebagai pelari rekreasional atau pelari hore, tujuan mengikuti Bormar untuk bersenang-senang saja. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline