Kontestasi demokrasi di era digital tak lagi identik dengan hiruk pikuk kampanye di lapangan atau debat panas di layar televisi. Arena pertarungan kini telah berpindah ke genggaman, tempat algoritma media sosial menjadi wasit tak terlihat yang menentukan siapa yang layak didengarkan dan narasi mana yang berhak berkuasa.
Sayangnya, sarana yang menjanjikan partisipasi dan keterbukaan tersebut justru menjadi ancaman paling serius bagi integritas pemilu. Isu yang fundamental bukanlah sekadar hoaks, melainkan ketidakadilan yang tertanam dalam kode-kode algoritma, sebuah fenomena yang saya sebut sebagai Keadilan Algoritmik.
Konsep keadilan pemilu kini harus diperluas. Jika sebelumnya kita fokus pada integritas prosedural---seperti transparansi penghitungan suara dan netralitas penyelenggara---kini kita wajib menuntut keadilan dalam lingkungan informasi itu sendiri.
Keadilan Algoritmik, sebuah prinsip yang digagas oleh organisasi seperti Algorithmic Justice League (AJL), menuntut sistem kecerdasan buatan (AI) untuk beroperasi secara adil dan akuntabel, tanpa memperkuat bias atau merugikan pandangan politik tertentu (AJL: 2016).
Apabila algoritma secara sistematis memprioritaskan satu kubu, maka prinsip dasar demokrasi, yakni kesetaraan politik, telah runtuh bahkan sebelum pemilih melangkah ke bilik suara.
Ruang publik digital telah menjadi arena di mana sistem otomatis dapat secara tidak adil mempengaruhi kelompok atau hasil tertentu, sehingga merusak prinsip-prinsip demokrasi.
Algorithmic Democratic Bias
Hal ini dikenal sebagai Algorithmic Democratic Bias. Bias algoritma dapat terjadi secara tidak sengaja dari cara sistem dirancang atau data yang digunakan untuk melatihnya.
Akibatnya, bukannya menjadi ruang diskusi yang rasional dan inklusif, algoritma media sosial justru mengorkestrasi sistem politik yang "tersegmentasi" atau "monolitik," di mana setiap kelompok ideologis hanya berkomunikasi di dalam lingkaran mereka sendiri.
Hal yang begitu tentu dapat mengancam kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan konflik secara damai dan rasional.
Pengaruh algoritma terhadap partisipasi dan sosialisasi politik sangatlah kontras. Di satu sisi, platform digital memang meningkatkan kesadaran politik, terutama di kalangan Gen Z yang menganggap media sosial sebagai sumber informasi utama mereka (Al Fatih: 2023).