Lihat ke Halaman Asli

Sekolah Bukan Medan Perang, Tapi Kenapa Selalu Ada Korban?

Diperbarui: 29 Juli 2025   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangan kecil terangkat bertuliskan “Stop Bullying”—isyarat sunyi dari anak-anak yang lelah jadi sasaran tanpa pelindung. (Foto: RSAS Kalsel)

Ada yang terasa mengganjal di dada saat membaca berita pagi ini dari Toboali, Bangka Selatan. Seorang anak SD, inisial Z, usia 10 tahun, meninggal dunia. Bukan karena kecelakaan, bukan pula karena penyakit bawaan. Tapi karena dugaan perundungan — bullying yang dilakukan oleh teman-teman sebayanya di sekolah.

Sejak kapan sekolah, tempat anak-anak belajar dan bermain, menjadi ladang luka bagi sebagian dari mereka?

Z, siswa kelas 5 SDN 22 RIAS, sempat dirawat intensif di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal. Pamannya, melalui media sosial, menceritakan bahwa Z adalah korban perundungan di sekolah. Dan seperti banyak kasus serupa, cerita ini baru mengemuka setelah semuanya sudah terlambat — setelah nyawa tak bisa lagi diselamatkan, setelah tangis keluarga menggantikan tawa masa kecil yang seharusnya masih panjang.

Apa yang sebenarnya terjadi? Pihak kepolisian masih menyelidiki. Tapi di luar soal teknis hukum, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya dalam hati: seberapa serius kita memandang perundungan di sekolah?

Bukan Sekadar “Bercanda Anak-anak”

Kita sering terlalu ringan menanggapi kekerasan verbal dan fisik di antara anak-anak. Kadang orang dewasa bilang, “Namanya juga anak-anak, nanti juga baikan lagi.” Atau, “Ah, cuma bercanda.” Tapi bercanda macam apa yang membuat seorang anak harus berakhir di ruang operasi karena infeksi usus? Bercanda macam apa yang membuat anak menahan sakit, baik di tubuh maupun batinnya, hingga meregang nyawa?

Masalahnya, kita tidak cukup peka. Anak-anak tidak punya bahasa seluas orang dewasa untuk mengungkapkan rasa sakitnya. Mereka menangis diam-diam, menahan malu, takut, atau bahkan merasa bersalah karena tak bisa membela diri. Sementara lingkungan — sekolah, orang tua, bahkan teman — terkadang tidak cukup jeli menangkap tanda-tanda itu.

Budaya “Diam Aja” yang Merusak

Di banyak sekolah, masih ada budaya diam. Anak-anak yang mengalami perundungan diminta “sabar”, atau malah dituduh “lebay”. Pelaku kadang hanya dihukum berdiri di depan kelas, atau disuruh minta maaf sambil tertawa. Akarnya bukan cuma kurangnya perhatian guru atau orang tua, tapi juga budaya kita sendiri yang sering menormalisasi kekerasan kecil.

Kita terlalu sering mengajarkan anak untuk kuat, tapi tidak pernah mengajarkan mereka untuk berempati. Kita bangga ketika anak bisa “balas dendam” atau “nggak cengeng”, tapi lupa mengajarkan bahwa menjadi baik hati itu juga bentuk kekuatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline