Lihat ke Halaman Asli

cipto lelono

TERVERIFIKASI

Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menghayati Perangai "Ahlul Ma'rifah" Menapaki Puasa Sepuluh Hari Kedua

Diperbarui: 13 Maret 2025   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perangai Ahlul Ma'rifah.Sumber: https://bincangsyariah.com

Puasa ramadan sudah memasuki sepuluh hari ke dua. Bagi kita yang berpuasa, sudah dapat membayangkan perolehan apa yang sudah didapatkan pada sepuluh hari pertama. Tentu perolehan  masing-masing orang tidak sama. Ada yang sudah memperoleh peningkatan salat sunah rawatif, salat dluha, ada yang sudah memperoleh ringannya memberikan sedekah, ada yang sudah memperoleh peningkatan aktivitas tadarus Al Qur'an, bahkan juga ada yang sudah berhasil menikmati manfaat ibadah salat baik yang wajib maupun sunah bagi kebutuhan jiwanya.

Oleh sebab itu, perlu kiranya kita tingkatkan semangat untuk memperoleh peningkatan pada aspek-aspek yang lain, sembari masih tetap mempertahankan yang sudah diperoleh. Salah satu peningkatan yang perlu dilakukan adalah "menghayati perangai ahli ma'rifah". Mengapa? Sebab perangai ini merupakakan salah satu jalan penting menuju predikat taqwa yang sesungguhnya. Sehingga dapat menjadi bekal menuju sepuluh hari terakhir bulan ramadan.

Keberhasilan menghayati perangai ahli ma'rifah akan mendorong seorang mukmin yang sedang berpuasa menjadikan puasa yang dijalani sebagai perisai dari semua hal yang dilarang oleh Allah SWT. Sehingga pada gilirannya ia mampu berjuang memuasakan hati dan jiwanya dari hal-hal yang dapat mengotori hati dan jiwanya.

Perangai Ahlul Ma'rifah

Dalam pelaksanaan puasa, setidaknya terdapat tiga tingkatan yang masing-masing tingkatan mempunyai perangai berbeda. Makin tinggi tingkatanya, makin bermakna puasanya. Ketiga tingkatan tersebut adalah:

Pertama, orang berpuasa yang berhasil meninggalkan makan, minum, dan hubungan badan (bagi yang sudah berkeluarga) di siang hari.

Perangai yang melekat pada tingkatan ini adalah keberhasilan seorang mukmin menahan diri tidak makan, minum, dan berhubungan badan di siang hari. Namun dalam praktik kehidupannya belum berhasil menahan lisannya dari ghibah, berkata bohong, berbicara tiada guna. Sehingga dapat disimpulkan puasa yang dijalani masih bersifat badani.

Kedua, orang berpuasa yang berhasil meninggalkan makan, minum, berhubungan badan di siang hari, dan lisannya senantiasa mengharap ampunan Allah sehingga terbebas dari siksa api neraka. Ada ulama menyebutnya sebagai "ahlul khusus".

Perangai yang dapat dijelaskan pada tingkatan ini adalah keberhasilan seorang mukmin menahan diri tidak makan, minum, berhubungan badan di siang hari, dan berhasil menahan lisannya dari ghibah, bohong, dan berbicara tiada guna. Bahkan pada tingkatan ini puasa yang dijalani sudah berhasil mendorong kesadaran dirinya untuk memperoleh ampunan atas segala dosanya, agar dapat terbebas dari siksa api neraka. Sehingga selain memuasakan badannya juga berhasil memuasakan lisannya. Bahkan puasa yang dijalani sudah berorientasi moivasi yang bersifat ukhrowi. 

Ketiga, orang berpuasa yang berhasil meninggalkan makan, minum, berhubungan badan di siang hari, dan menjadikan puasanya sebagai perisai hatinya dari segala sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah SWT semata-mata mengharapkan keiridlaan-Nya. Ulama menyebutnya dengan "ahlul ma'rifah".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline