Lihat ke Halaman Asli

CELLY AULIA SEPTIANI

MAHASISWA ILMU HUKUM

Batas yang Tak Terlihat: Meneguhkan Identitas Maritim Indonesia di Tengah Persaingan Global

Diperbarui: 13 Oktober 2025   03:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Gambar Peta Laut Indonesia, Sumber: https://jurnalmaritim.com

Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Keunikan geografis ini menempatkan laut sebagai elemen vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Laut bukan sekadar pemisah, melainkan kekuatan pemersatu dan sumber daya strategis yang menopang perekonomian, politik, dan pertahanan negara. Namun, di balik potensi yang sangat besar ini terdapat isu mendasar yang masih menjadi tantangan: penetapan batas wilayah laut.

Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut/United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Indonesia berkewajiban menyelaraskan peraturan domestiknya dengan kerangka hukum internasional. UNCLOS memberikan pengakuan penuh terhadap konsep negara kepulauan (archipelagic state), yang memungkinkan Indonesia mengklaim wilayah maritim berupa laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen. Namun, realitas menunjukkan bahwa penetapan batas maritim bukanlah perkara sederhana. Hal ini selalu melibatkan interaksi antara aspek hukum, politik, diplomatik, dan bahkan keamanan regional.

Pembahasan

Salah satu tantangan terbesar adalah kompleksitas geografis Indonesia, yang berbatasan laut dengan sepuluh negara sekaligus. Dalam kajiannya, Akbar Kurnia Putra (2017) menekankan bahwa "the determination of maritime boundaries is not only a matter of geography but also of international negotiation and law". Artinya, batas laut tidak hanya dipetakan berdasarkan kondisi alam, tetapi juga merupakan hasil proses diplomatik yang panjang dan membutuhkan konsensus antarnegara.

Lebih lanjut, dinamika geopolitik global seringkali memengaruhi posisi Indonesia dalam negosiasi batas maritim. Putra menyoroti kasus Laut Natuna, di mana kepentingan Indonesia seringkali berbenturan dengan klaim negara lain, terutama Tiongkok. Ia menulis bahwa "regional maritime disputes in Southeast Asia often intersect with Indonesia's interests, particulary regarding the Natuna waters" (Putra, 2024). Dengan kata lain, konflik kepentingan regional dapat berdampak langsung pada kedaulatan maritim Indonesia.

Namun, UNCLOS memberikan peluang yang signifikan bagi negara kepulauan seperti Indonesia untuk menegaskan hak-haknya. Putra (2020) menyatakan bahwa "UNCLOS has provided archipelagic states, such as Indonesia, with a stronger legal standing to assert their maritime entitlements". Dengan pengakuan internasional ini, Indonesia memiliki legitimasi hukum yang kuat untuk mengklaim ZEE hingga 200 mil laut, serta landas kontinen yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nasional.

Diplomasi juga muncul sebagai peluang strategis. Menurut Putra (2017), "maritime boundary diplomacy is a vital tool for Indonesia to balance between sovereignty protection and regional cooperation". Pernyataan ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara melindungi kepentingan nasional dan berkomitmen pada kerja sama regional. Indonesia tidak dapat mengisolasi diri dari diplomasi maritim karena setiap batas wilayah yang disepakati selalu melibatkan pihak lain.

Di sisi lain, tantangan masih ada dalam konteks sinkronisasi hukum nasional. Putra (2022) memperingatkan bahwa "Indonesia must continuously harmonize its domestic laws with UNCLOS provisions to avoid legal inconsistenscies". Jika peraturan nasional tidak sejalan dengan hukum internasional, maka posisi Indonesia dalam negosiasi dan forum internasional dapat melemah. Oleh karena itu, harmonisasi hukum merupakan agenda strategis untuk memastikan klaim Indonesia tidak diperdebatkan secara hukum.

Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa meskipun menghadapi berbagai tantangan, Indonesia memiliki peluang signifikan untuk memperkuat posisi maritimnya melalui instrumen hukum internasional, diplomasi aktif, dan harmonisasi hukum domestik. Dengan fondasi ini, kita dapat melanjutkan pembahasan yang lebih luas mengenai pandangan penulis lain tentang batas-batas laut Indonesia.

Selain perspektif salah satu peneliti, sejumlah penelitian terbaru telah menekankan kompleksitas penentuan batas wilayah laut Indonesia dari perspektif hukum dan geopolitik. Misalnya, Arsana (2020) menekankan bahwa "delimitation of maritime boundaries is one of the most complex and sensitive issues in international law, requiring both technical and diplomatic expertise". Pernyataan ini menyoroti bahwa penentuan batas maritim tidak dapat hanya bergantung pada peta, tetapi harus melibatkan kombinasi keahlian teknis dan negosiasi diplomatik yang matang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline