Lihat ke Halaman Asli

Cadis Luz

Sing tenang.

Jalan yang Terang

Diperbarui: 5 Februari 2020   21:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa yang bisa diharapkan dariku? Aku rasa tidak ada. Diri ini selalu merasa gagal, salah, dan merasa paling rendah. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Cantik tidak, prestasi nol, kaya? ... itu apalagi.

Setiap kali bercermin, ada seseorang yang muncul dengan wajah yang sama denganku dari benda itu. Hanya ekspresinya saja yang berbeda. Ketika aku tersenyum, dia menangis. Ketika aku menangis, dia tersenyum. Saat aku tertawa, dia marah. Saat aku marah, dia tertawa. Namun, ada wajah yang sama. Saat aku merasa tidak berguna. Dia menatapku tanpa ekspresi.

Ini sebenarnya sangat menyiksa. Selain terus menerus menyalahkan diri sendiri, hatiku ternyata masih memendam luka masa lalu. Sakitnya tidak kunjung hilang, dan menjadi tangisan di setiap malam.

Aku hampir gila. Ya! Itu betul. Bahkan sudah beberapa hari ini aku tidak keluar kontrakkan. Tidak ada orang yang datang menanyakan kabarku, tidak ada tetangga yang khawatir. Kedua orang tuaku sudah tiada, dan merasa sendiri kualami setiap hari.

Lihat cermin itu! Hari ini ada wajah kesedihan di sana, tatapan kasihan dengan keadaanku sekarang. Menjadi manusia tak berguna, manusia yang tidak pantas disebut manusia.

Apa wajah itu sedang meremehkanku? Atau dia ingin berkata sesuatu soal diriku?

Apa yang harus kulakukan?

Aku berhenti menatap cermin saat ponsel di atas meja berdering. Sebenarnya, benda itu sudah berisik sejak kemarin. Temanku yang bernama Tari terus menghubungiku, mengirim pesan soal lomba melukis. Setelah berhenti berdering, kulihat ada pesan masuk. Dengan tanda seru di belakang kalimatnya, dia menyuruhku untuk segera datang ke tempat perlombaan.

Tanpa membersihkan diri aku  memasukkan alat melukis ke dalam tas. Masih membiarkan kamar berantakan dengan cat-cat warna, kuas, juga kertas kanvas di mana banyak sekali lukisan tidak selesai, aku segera pergi ke tempat perlombaan dimulai.

**

Saat keluar dari angkot, kulihat  lapangan tempat perlombaan melukis sudah ramai. Para peserta menempati kursi yang di depannya ada easel yang menjepit kertas kanvas ukuran 40x60 sentimeter. Kulihat di tengah lapangan ada seseorang melambai padaku, menyuruh untuk secepat mungkin berlari, lantas duduk di sampingnya. Tetapi itu tidak kulakukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline