Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Kolektor

Politik Keumatan dan Sesat Pikir Politisi

Diperbarui: 1 Agustus 2020   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karikatur, Bung Amas (Dokpri)

Keumatan menjadi topik hangat yang tak pernah usang dalam hajatan rebutan kepentingan di pentas politik. Umat yang disadur dari bahasa Arab ini memiliki arti masyarakat atau bangsa. Namun kian hari, nada dan tafsir umat menjadi menyusut, merosot maknanya. Dikapitalisasi dan dikapling dalam tafsiran yang tendensius, parsial. Hasilnya, seperti di Kota Manado pernah ada upaya membentuk Koalisi Keumatan untuk momentum Pilkada Serentak 2020.

Tafsir tunggal dalam politiklah yang memancing munculnya debat. Sebetulnya politik tak tepat ditafsir secara terbatas, kemudian melahirkan pembenaran-pembenaran sepihak. Sebab hal itu kadang kala menjadi embrio tumbuhnya pemikiran politik sesat menghancurkan peradaban politik. Mengaku dan merasa dominan, lalu sewenang-wenang terhadap yang lain, inilah setumpuk ketimpangan demokrasi yang perlu diluruskan.

Umat yang utuh, akhirnya menjadi lumat. Menjadi lumat berarti tercerai-beraikan, halus tidak konsolidasi lagi menjadi integral. Sepeti itulah bencananya kalau agenda keumatan ditafsir para pemburu kekuasaan yang doyan rebut, amankan kepentingannya masing-masing. Sulit terkonstruksi dengan baik dan tertib, selama umat diposisikan sebagai barang rebutan semata. Setelah direbut, dimanfaatkan, lalu kemudian cenderung diabaikan.

Seperti 'abis manis sepah dibuang', begitulah kira-kira umat dieksploitasi. Padahal martabat dan marwah keumatan bukan saja serendah itu. Umat itu bersifat universal maknanya, tidak terbatas disaat momentum politik. Melainkan untuk kepentingan-kepentingan persatuan, kerja, soliditas, kemajuan dan kebersamaan demi kepentingan yang lebih besar. Kelemahan lain dari tema keumatan 'mati muda', atau sekedar dijadikan alat, karena niat baik memberi diri untuk keumatan itu masih minim. Kita lebih banyak meminta daripada memberi kontribusi ke umat.

Bias tafsir terhadap persatuan keumatan juga sering disesatkan dengan politik identitas yang menghasut, memecah-belah kepentingan konsolidasi kebangsaan yang majemuk. Sesat pikir sebetulnya itu. Karena kalau mau jujur, di semua pemeluk agama kita punya nilai prinsipil, keyakinan yang tidak bisa digadaikan atau ditukar-tambahkan lagi dan itu bersifat final. Tapi soal keumatan, menggairahkan semangat keumatan bukan hal yang salah.

Karena persatuan besar, diawali dari persatuan-persatuan yang kecil. Dari titik temu ide itulah, melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, artinya melalui membangkitkan sentiment positif keagamaan tidak berkontradiksi dengan semangat membangun persatuan nasional. Jangan alergi dengan sebutan persatuan umat. Itu soal istilah saja, umat sama dengan rakyat. Kadang benturan atau perbedaan pandangan juga tidak datang dari luar, dari dala umat Islam sendiri yang begitu kencang penolakan-penolakan akibat gesekan kepentingan yang tidak satu.

 Pentingnya Politik Keumatan

Menjadi penting karena yang didahulukan dalam perjuangan politik ini adalah kepentingan umat. Bukan orang perorang, disitulah letak kekuaannya. Sehingga menjadi begitu istimewa perjuangan menyukseskan kepentingan umat seperti yang dimaksud dapat dilakoni secara berjamaah. Politik keumatan itu berbasis nilai, bukan personal, gerbong tertentu atau institusional kelembagaan. Ya, letaknya ada pada nilai (value) universalitas, perjuangan demi dan atas nama kemanusiaan.

Umat yang tidak terkendalikan oleh kepentingan kotor, saling menjatuhkan atau menghalalkan segala cara untuk menang. Bukan seperti itu semangat merebut kepentingan keumatan dijalankan, tak boleh cara jahat dan amoral. Jika ditelusuri, kepentingan umat dalam politik adalah tentang keadilan, kesejahteraan, persamaan hak, persatuan, rasa aman, kebebasan beragama dan akses terhadap publik yang setara dengan manusia lainnya.

Mewujudkan kepentingan politik umat harus didasari atas hal-hal yang ideal dan realistis. Seperti kerinduan sekaligus harapan menjadi manusia unggul yang titik tolaknya dari kemauan memantapkan diri, secara individual lalu diperluas menjadi keunggulan sosial. Jadi manusia-manusia yang dipotretkan dalam praktek politik keumatan yakni mereka yang telah tuntas dari dirinya sendiri. Sehingga betul-betul mapan, matang dan mandiri, tidak lagi bergantung pada pihak lain.

Figur itu yang juga dapat diistilahkan sebagai insan cita. Mereka yang dicita-citakan atau digambarkan sebagai teladan umat. Nah, dalam seleksi kepemimpinan daerah di Kota Manado bagaimana mau terwujud kalau persatuan saja belum mampu digalakkan. Kesadaran bersama belum dikuatkan. Akhirnya seperti mimpi dan lelucon dalam dunia nyata politik, bicara persatuan keumatan tapi kesadaran, hati dan pikirannya tidak mau menyatu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline