Lihat ke Halaman Asli

Boyke N.H. Hutapea

Promotor Keberlanjutan

Marapu dan Alam: Harmoni Budaya Sumba dalam Menjaga Hutan dan Air

Diperbarui: 26 Juni 2025   12:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang lelaki tua sedang berharap datangnya hujan (Sumber:www.freepik.com)

Bisakah budaya tradisional menjadi pelindung terbaik bagi alam? Di Sumba, jawabannya mungkin iya.

Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur bukan hanya kaya akan keindahan alam, tapi juga menyimpan warisan budaya yang begitu kuat dan menyatu dengan lingkungan. Di balik hamparan savana dan bukit-bukit tandus, ada nilai-nilai luhur yang mengikat masyarakat dengan alam sekitarnya. Salah satunya adalah kepercayaan Marapu, sistem kepercayaan asli Sumba yang hingga kini masih hidup di tengah masyarakat.

Dalam Marapu, alam bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang spiritual yang dihuni oleh roh leluhur. Hutan, gunung, dan sumber air dianggap suci. Seperti disebut dalam situs BRIN, "Dalam sistem kepercayaan Marapu, manusia, alam, dan leluhur adalah satu kesatuan yang saling menjaga dan tak bisa dipisahkan." (BRIN, 2023).

Inilah yang menjadikan pelestarian lingkungan bukan hanya kewajiban ekologis, tapi juga tanggung jawab spiritual. Dalam ritual Kalarat Wai, misalnya, masyarakat menyampaikan rasa syukur dan memohon kelimpahan air sebagai bentuk penghormatan. "Kalarat Wai adalah ritual sakral untuk menjaga kesucian sumber air dan memperkuat ikatan antara manusia dan alam," tulis Vox NTT (VoxNTT, 2016).

Di desa Wunga, masyarakat percaya bahwa alam adalah milik Marapu. Sebelum menebang pohon atau membuka lahan, mereka memohon izin melalui doa dan persembahan. Ada rasa hormat, ada batas, ada keseimbangan.

Nilai-nilai ini juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Sistem pertanian tradisional seperti tumpang sari dan pembangunan rumah adat dari bahan alami telah diwariskan secara turun-temurun. Sayangnya, seperti dicatat Mongabay Indonesia, "Kini rumah adat semakin sulit dibangun karena bahan alami dari hutan makin langka akibat pembukaan lahan yang tak terkendali." (Mongabay, 2020)

Salah satu praktik lokal yang menunjukkan integrasi budaya dan konservasi adalah Lende Ura. Dalam laporan Kementerian LHK, dijelaskan bahwa "Lende Ura merupakan bentuk kearifan lokal yang menggabungkan regenerasi budaya dengan rehabilitasi ekosistem melalui terasering, larangan pembakaran hutan, dan penanaman multikultur." (KLHK, 2023)

Namun, nilai-nilai ini mulai tergerus. Modernisasi, tekanan ekonomi, dan perubahan gaya hidup menyebabkan makin banyak anak muda menjauh dari akar budayanya. Praktik yang tak ramah lingkungan seperti penebangan liar makin marak, dan pembakaran lahan menjadi solusi darurat yang justru memperburuk ekosistem.

Rato---pemimpin adat---sebenarnya memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Sebagaimana dijelaskan dalam kajian APMD: "Rato adat tidak hanya bertugas memimpin ritual, tetapi juga menjadi penjaga nilai-nilai lingkungan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari." (APMD, 2020)

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline