Lihat ke Halaman Asli

Budhi Masthuri

Cucunya Mbah Dollah

Lembah Kematian di TPST Piyungan, Potret Gagalnya Difusi Inovasi

Diperbarui: 23 Maret 2022   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: smol.id

Sampah akan menjadi ancaman yang sangat serius apabila tidak dikelola secara baik dan tepat guna. Setiap hari, jam bahkan menit sampah terus diproduksi, dari yang organik, non organik pada sektor rumah tangga, pasar dan perhotelan, sampai sampah kimia dan limbah medis oleh rumah sakit. Karena itu setiap daerah harus memiliki strategi dan kebijakan pengelolaan sampah, tanpa terkecuali Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemerintah DIY).

Pada tahun 1994, Pemerintah DIY mulai menempatkan pengelolaan sampah sebagai hal yang lebih serius. Ini bisa dilihat dari dikeluarkannya kebijakan inovasi dalam pengelolaan sampah di Kartamantul (Yogyakarta, Sleman dan Bantul), dengan konsep yang lebih canggih dan terpadu. Penemuan inovasi ini dirancang para policy interpreuner di Pemerintah DIY bekerjasama dengan Badan Kerjasama Internasional Jepang, JICA. Konsep dan bentuk inovasinya berupa Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, dan mulai beroperasi Tahun 1996.

Fasilitas pengelolaan sampah ini menjadi salah satu inovasi penting ketika itu, awalnya dikelola langsung oleh Pemerintah DIY, sempat dialihan ke Sekretariat Bersama Kartamantul, sebelum akhirnya pada Tanggal 1 Januari 2015 kembali dikelola Pemda DIY melalui Balai Pengelolaan Sampah, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (www.dlhk.jogjaprov.go.id).

Sebagai kebijakan inovasi, perjalanan TPST Piyungan ternyata tidak mulus. Dari hasil kajian Kantor Perwakilan Ombudsman RI Daerah Istmewa Yogyakarta (Ombudsman RI DIY) diketahui misalnya, bahwa politik anggaran di pemerintahan daaerah ternyata tidak cukup mendukung, sarana-prasarana yang tidak cukup memadai bahkan sebagian diantaranya sudah rusak berat, budaya masyarakat yang belum cukup mendukung strategi pengelolaan sampah, sampai dengan penolakan warga sekitar lokasi. Itu semua menyebabkan inovasi pengelolaan sampah ini mengalami masalah yang sangat serius.

Konsep inovasi yang awalnya dirancang sebagai fasilitasi pengelolaan sampah, kini telah menjadi tempat penumpukan sampah. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk memilah dan mengelola sampah secara mandiri sejak dari rumah (sampah domestik) memberikan kontribusi signifikan bagi masalah yang dihadapi TPST Piyungan ini. Lebih mengkhawatirkan lagi, bahwa sejak Tahun 2012 ternyata daya tampung tempat pengelolaan sampah ini sudah melampaui kapasitas yang seharusnya. Padahal volume sampah yang masuk selalu mengalami kenaikan, sebutah misalnya pada tahun 2019 bahkan naik sampai 2000 Ton-an (www.republika.co.id)

Kondisi terkini dari TPST Piyungan dan realitas budaya sosial masyarakat yang belum cukup sejalan dengan upaya pencapaian tujuan inovasi tersebut merupakan fakta yang menarik apabila dipotret dengan kacamata teori defusi inovasi. Tulisan ini mencoba menggunakan pendekatan teoritik tentang defusi inovasi untuk melihat bagaimana proses adaptasi dan adopsi terjadi, dan seperti apa prosepek keberlanjutan inovasi pada masa akan datang. 

Inovasi dan Policy Interpreneur

Inovasi diawali dari pencarian dan penemuan (invention) lalu diwujudkan menjadi inovasi, bisa berbentuk ide, teknologi, sampai pemikiran bahkan idiologi baru, yang kemudian ditawarkan kepada masyarakat untuk dapat diterima bahkan diadopsi dalam kehidupan sosial sehari-hari (Darwin, 2020). Setelah itu diperlukan tahapan defusi dengan menyebarluaskannya kepada masyarakat. Pada tahapan defusi inilah terjadi proses-proses adaptasi, adopsi dan imitasi, yaitu proses replikasi, dilakukan oleh adopter yang telah berhasil melakukan adaptasi (Schumpeter dalam Sledzik 2013). Fase perjalanan dari invensi ke inovasi tidak selalu lancar, ketika penemuan baru tersebut tidak seger dieksekusi menjadi bentuk konkret inovasi, maka akan terjadi apa yang disebut sebagai lembah kematian (The Valley of Death).

Inovasi sangat terkait dengan proses kewirausahaan. Menurut Schumpeter, aktivitas kewirausahaan yang melahirkan inovasi berbasis riset memberikan peluang baru bagi investasi, pertumbuhan, dan lapangan kerja. Oleh karena itu dalam semua kewirausahaan untuk mencari keuntungan harus berinovasi, sebab inovasi merupakan pendorong penting yang akan memperkuat daya saing dan pergerakan ekonomi, sehingga menyebabkan perubahan struktur ekonomi, menghancurkan yang lama dan menciptakan yang baru (Sledzik 2013). Disinilah para aktor policy interpreneur berperan sebagai katalisator yang terlibat dalam upaya-upaya kolaboratif untuk mempromosikan inovasi kebijakan guna terjadinya sebuah perubahan.

Pendapat lainnya datang dari Kevin McManus, seorang konslutan kepemimpinan dan inovasi dari Amerika Utara memperkenalkan tiga esensi pendorong inovasi, terutama dalam sebuah proses kepemimpinan, yaitu empowerment, engagment dan creativity.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline