Pemandangan pemulung dan manusia gerobak yang tidur di atas trotoar di depan rusun atau pertokoan telah menjadi fenomena yang tidak asing bagi warga Jakarta.
Kehadiran mereka di setiap sudut ibu kota menunjukkan, bahwa permasalahan pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) masih menjadi tantangan besar yang belum terselesaikan secara komprehensif.
Berdasarkan Permensos Nomor 5 Tahun 2019, PPKS didefinisikan sebagai perseorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang karena hambatan tertentu tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga memerlukan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kategori ini mencakup anak telantar, anak jalanan, penyandang disabilitas, gelandangan, pengemis, pemulung, dan kelompok rentan lainnya. Kita bisa menyebut mereka sebagai kaum marginal.
Data Dinas Sosial DKI Jakarta menunjukkan, bahwa pada tahun 2023 terdapat 7.345 PPKS yang terjaring, sementara pada periode Januari-April 2024 tercatat 2.070 kasus.
Angka ini mengindikasikan, bahwa permasalahan PPKS bukan sekadar isu temporer, melainkan persoalan struktural yang membutuhkan penanganan sistematis dan berkelanjutan.
Pendekatan rehabilitasi yang tidak efektif
Sistem rehabilitasi yang diterapkan Dinas Sosial DKI Jakarta saat ini masih mengandalkan pendekatan konvensional yang terbukti kurang efektif dalam menyelesaikan akar permasalahan PPKS.
Model rehabilitasi selama enam bulan di panti sosial sebelum dikembalikan ke masyarakat hanya memberikan solusi sementara tanpa menyentuh aspek fundamental penyebab kemiskinan struktural.
Program pelatihan yang diberikan selama masa rehabilitasi, seperti pelatihan montir dan las, memang memberikan keterampilan teknis kepada PPKS.
Namun, tanpa disertai penyediaan lapangan kerja yang memadai, keterampilan tersebut menjadi tidak bermakna dalam konteks pemberdayaan ekonomi jangka panjang.