Ketika warna-warni terumbu karang Indonesia memudar menjadi pucat, yang memutih bukan cuma ekosistem laut, tapi juga kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan yang selama ini terkesan reaktif dan tambal sulam.
Indonesia sebagai salah satu negara megabiodiversitas laut terbesar di dunia, seharusnya menjadi garda depan dalam upaya perlindungan terumbu karang.
Namun, pemutihan karang yang semakin sering dan intens sejak beberapa dekade terakhir, justru membuka mata kita: kebijakan konservasi belum benar-benar berdiri di atas paradigma yang tahan iklim dan berbasis ilmu pengetahuan.
Tulisan ini berusaha membahas tiga isu kunci yang layak mendapat perhatian pemerintah lebih serius.
Pemutihan Karang, Alarm Krisis yang Tidak Direspons Secara Strategis
Sejak peristiwa pemutihan global pertama pada tahun 1998, para ilmuwan telah memperingatkan bahwa, perubahan iklim bakal mempercepat frekuensi dan intensitas coral bleaching.
Realitanya, pemutihan karang, kini terjadi hampir setiap tiga tahun sekali di beberapa wilayah perairan Indonesia seperti Selat Lombok dan Gili Matra.
Bahkan, pemutihan karang juga terjadi di Raja Ampat yang dianggap sebagai tempat berlindung dari meningkatnya tingkat panas laut (sumber: KOMPAS.com).
Suhu air laut yang meningkat hanya satu derajat Celsius dalam waktu empat hingga delapan minggu saja cukup membuat karang stres, memutih, lalu mati akibat kelaparan.
Namun, apa yang menjadi respons pemerintah?
Kita menyaksikan serangkaian kegiatan reaktif---survei lapangan, monitoring cepat, pembatasan aktivitas wisata---yang dilakukan ketika pemutihan sudah terjadi.
Ini ibarat menyapu air dari lantai sementara keran dibiarkan tetap mengalir deras.