Lihat ke Halaman Asli

zahwan zaki

Alumni IAIN SAS Babel (Pendidikan) dan Alumni STIA-LAN Jakarta (Bisnis)

Pasang Surut Bisnis di Tengah Kondisi Tak Menentu

Diperbarui: 4 Agustus 2020   16:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Pajangan Kaos Daerah / Instagram pundokshang

Kadangkala teori bisnis tidak semudah prosesnya di lapangan. Mengapa begitu? Kebetulan saya punya teman memiliki bisnis baju kaos dengan tema bahasa dan ikon daerah Bangka Belitung. Sedikit banyak saya paham dengan kondisi bisnisnya, mengingat kami sering berbincang mengenai bisnis baju kaos daerahnya.

Pengalaman Teman Berbisnis Baju Kaos Daerah

Bisnisnya berdiri dari tahun 2010. Bisnis ini bermula saat sepulangnya dari Bali. Waktu di Bali dia menyempatkan diri melihat joger kaos oleh-oleh khas Bali. Kemudian di bulan November 2010 memberanikan diri membranding nama tertentu (diberikan merek) sebagai kaos cinderamata asli Bangka Belitung.

Merek (bahasa Inggris: brand) atau jenama adalah tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan sebagainya) pada barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal. (Wikipedia).

Kaos yang mengangkat tema wisata, kultur, bahasa dan keseharian masyarakat Bangka Belitung dikemas dengan apik di desain kaos. Sebisa mungkin, setiap calon pembeli yang melihat desainnya akan tertarik untuk membeli.

Modal awal yang dikeluarkan sebesar Rp 60 juta. Modal tersebut digunakan untuk sewa tempat, dekorasi ruangan, desain dan belanja baju.  

Dalam perjalanannya di awal berdiri usahanya sudah mengantongi omset hampir satu milyar, tepatnya dalam tahun 2011. Usahanya dibantu oleh 2 orang tenaga desain dan 4 orang pramuniaga.

Melihat pesatnya perkembangan usaha kaos, kemudian tahun 2013 membuka konveksi sendiri. Otomatis modal yang dikeluarkan juga lumayan besar, khususnya untuk membeli peralatan konveksi.

Di awal berdiri konveksi untuk mendukung dari produksi kaos daerah, tetapi sejalan waktu terlena dengan banyaknya pesanan kaos dari luar, sehingga mengabaikan kaos yang menjadi brandingnya. Kesannya sudah tidak fokus lagi mengurusi kaos yang menjadi andalannya itu.

Dalam perkembangannya konveksi memiliki 15 orang karyawan. Namun, tahun 2017 konveksi harus ditutup, dikarenakan menurutnya laba  tidak terlihat, padahal pesanan kaos sangat besar. Bisa jadi, operasional bulanan untuk menggerakkan konveksi saat itu lumayan besar dan manajemen usahanya belum tepat dalam mengelolanya.

Dengan ditutupkannya konveksi, maka usaha kaos daerahnya kembali berjalan normal di akhir 2017, sedangkan saat itu sudah berdatangan kompetitor di bidang usaha kaos daerah seperti usahanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline