Lihat ke Halaman Asli

Apakah pendidikan kita betul betul Mendidik manusia? ataukah mencetak spanduk promosi

Diperbarui: 26 Juni 2025   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : Wikipedia/Paulo Freire

Setiap tahun, ketika musim pengumuman hasil seleksi masuk perguruan tinggi tiba, sebuah pemandangan yang sudah jamak muncul di banyak sekolah menengah atas: daftar nama siswa yang berhasil lolos ke perguruan tinggi negeri dipajang dengan bangga. Entah itu di papan pengumuman sekolah, spanduk yang dipasang di gerbang, atau unggahan berwarna cerah di akun media sosial resmi sekolah seolah olah memberikan pesan tersirat satu pesan: inilah wajah-wajah kebanggaan kami.
Biasanya, nama lengkap siswa dicantumkan bersama jurusan dan nama universitas tujuan. Beberapa sekolah bahkan menambahkan label "terbaik", "favorit", atau "unggulan", seakan ingin menegaskan bahwa ini bukan sekadar keberhasilan biasa. Foto para siswa berseragam putih abu-abu ikut meramaikan, dengan ekspresi bahagia dan pose penuh percaya diri, mengiringi ucapan selamat yang diunggah sekolah dengan kalimat sederhana namun sarat kebanggaan: "Selamat kepada siswa kami yang diterima di Universitas X, Jurusan Y."

Tradisi ini telah menjadi rutinitas semacam tolok ukur kesuksesan yang diam-diam disepakati bersama. Perguruan tinggi negeri diposisikan sebagai puncak prestasi siswa, dan keberhasilan menembusnya menjadi simbol kemenangan bagi sekolah. Lembaga pendidikan pun mengasosiasikan keberhasilan ini sebagai buah dari sistem pembelajaran dan pendampingan mereka.

Namun di balik kain spanduk prestasi itu, ada ironi yang jarang dibicarakan: tidak semua bentuk keberhasilan mendapatkan ruang yang sama. Siswa yang memilih melanjutkan ke perguruan tinggi swasta, bekerja selepas lulus, memulai usaha kecil, atau menempuh jalur lain dalam hidupnya, seolah hilang dari radar. Nama mereka tak muncul di daftar, wajah mereka tak terpajang, kisah mereka jarang diangkat.

Padahal, setiap lulusan punya cerita dan perjuangannya masing-masing. Tidak semua keberhasilan harus tertuju di kampus negeri, dan tidak semua impian berawal dari ruang kuliah. Namun ketika hanya satu jenis pencapaian yang dirayakan secara terbuka, pesan tak langsung pun tersampaikan yang lainnya tidak cukup layak untuk dibanggakan. bahkan lebih ironinya lagi sekolah sekolah jarang melakukan survei kepada para alumni tentang kemana saja alumni berjuang. data data yang sekolah kumpulkan nyari berat sebelah. hanya siswa yang bersinar terang saja di simpan dalam galeri sekolah, sementara yang lain di biarkan redup.

Pertanyaannya: apakah papan prestasi yang terpampang megah itu benar-benar mewakili semua potensi, semua nilai, dan semua makna dari sebuah proses pendidikan?

Mungkin sudah saatnya sekolah mulai merayakan keberagaman pilihan hidup murid-muridnya. Karena dalam dunia yang terus berubah, sukses tak lagi tunggal ukurannya dan papan prestasi pun semestinya lebih luas menampung kisah. karena tujuan pendidikan hadir untuk mencetak manusia berpikir, memperhaulus perasaan, bertanggung jawab. seharusnya semua capaian sekecil apapun, harus di hargai di lembaga pendidikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline