Lihat ke Halaman Asli

Mutiara Timur

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(dari catatan harian saya)

[caption id="attachment_190660" align="alignleft" width="182" caption="Foto: Glenn Stefanus"][/caption]

setelah dua malam sebelumnya menonton di bioskop kusuma dengan pakaian basahkuyup, sabtu siang itu aku berada di atas mutiaratimur, menuju surabaya.

tersenyum geli dan mangkel sendiri, mengingat sejak dari stasiun hanya beroleh tiket bertajuk "bisnis tanpa tempat duduk." tak ada beda dengan naik truk. aku hanya bisa mengumpat dalam hati. walhasil, aku nglesot di bordes. mereka memanfaatkan ketakberdayaanku. jam empat sore aku sudah harus berada di komplek cak durasim. aku tak punya pilihan. tentu selain bahwa aku terlalu menyenangi kereta semenjak kecil.

telah tiga kali aku menengok restorasi, siapa tahu ada yang lengah meninggalkan kursi barang sejenak, untuk aku sikat. ketigatiganya pula gagal. oke, aku memilih untuk bertahan di situ. seperti biasa, kopi hitam aku pesan. aku melirik sebelah kiriku. seorang bapak berpakaian biru, ada logo kecil warna oranye khas kai di dadanya.

"heyyy! kerja sana! minggat dari kursi!" tapi itu hanya di batinku. ponsel kukeluarkan dari kantong celana. sial! batere hampir habis. kubaca ulang beberapa pesan sambil terus awas pada si bapak. pokoknya, sedikit dia beranjak maka kursi akan aku kuasai!

tibatiba kereta terguncang agak keras. si bapak menengok ke arah luar. bergegas ia ke pintu. kursi lantas berpindah padaku. yuhuu! semenitdua ia kembali. melihat kursinya telah kududuki, mukanya jadi agak masam. tak kupedulikan. ritual kopi dan rokok berlanjut. kereta berjalan kencang. lelaki muda di sebelahku tampak beringsut pelan. tampaknya ia akan kembali ke gerbongnya. membayar ia dan pergi.

kereta memperlambat lajunya. mulai tampak di depanku pohonpohon yang mengering.
"tragedi. menyedihkan sekali bukan?!" seorang lelaki agak tua tahutahu telah duduk di sebelahku. aku tersenyum menanggapinya. ia melepas topi. menaruh jisamsu di meja. membetulkan celana kargo pendeknya. matanya nanar menatap ke depan. pohonpohon keringmati semakin banyak.
"bukan. bukan tragedi," kataku. ia menoleh, raut mukanya agak kaget mendengar komentarku. dahinya berkerut, meminta jawaban lagi.
"ratusan, ribuan, jutaan. itu semua hanya statistik belaka," kataku.
lalu ia mengangguk. kami tertawa. miris.

tampak sebuah rumah di tengah genangan lumpur. tinggal separuh. tak berpenghuni lagi tentunya. mungkin ada halaman kecil dengan sepetak rumput dan bungabunga di depannya. dulu.

agak dekat rel, terpancang tulisan bercat merah di kain putih, "kami menolak relokasi". terpasang agak miring dan lusuh. ia tampak berkibarkibar di beberapa sobekan. di sekitarnya tak ada manusia. lengang.

restorasi mendadak sunyi senyap. tak ada orang bersuara. seperti turut hanyut. mata mereka tertuju ke luar jendela.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline