Pergantian menteri dalam sebuah kabinet bukanlah hal yang asing dalam sistem politik Indonesia. Namun, reshuffle pertama Kabinet Merah Putih yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto kali ini benar-benar mengejutkan publik. Tanpa isyarat, tanpa kabar angin, bahkan sebagian menteri yang diganti pun mengaku tidak mendapat pemberitahuan resmi sebelumnya. Atmosfer kejutan ini segera memunculkan berbagai pertanyaan: apa alasan di balik pergantian mendadak tersebut? Apakah kabinet baru ini mampu menjawab tantangan yang semakin kompleks? Dan bagaimana seharusnya masyarakat merespons langkah politik yang penuh kejutan ini?
Kejutan Politik yang Menguji Stabilitas
Prabowo mengganti lima menteri sekaligus: Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polkam), Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, serta Menteri Koperasi. Dari daftar ini, setidaknya dua posisi strategis---Menkeu dan Menko Polkam---membuat publik semakin tercengang. Posisi Menteri Keuangan yang sebelumnya dijabat oleh Sri Mulyani Indrawati kini ditempati Purbaya Yudhi Sadewa, ekonom senior yang dikenal tajam dalam analisis makroekonomi. Sementara posisi Menko Polkam masih dibiarkan kosong menunggu figur baru yang akan mengisi jabatan vital tersebut dan untuk sementara telah di tunjuk Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Ad Interim selama beberapa bulan ke depan.
Langkah mengejutkan ini tentu menimbulkan dua wajah. Di satu sisi, publik bisa melihatnya sebagai tanda bahwa Presiden menginginkan percepatan eksekusi kebijakan dan penyegaran di tubuh kabinet. Di sisi lain, kejutan yang tanpa transisi bisa dianggap mengganggu stabilitas, terutama jika menteri lama tidak sempat menyiapkan proses alih tugas yang matang.
Menteri Baru, Harapan Baru?
Publik tentu berharap bahwa masuknya nama-nama baru akan membawa energi segar. Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menkeu diharapkan bisa mengawal APBN dengan pendekatan lebih realistis, khususnya dalam membiayai program prioritas Asta Cita yang digadang Presiden Prabowo. Sementara itu, Mukhtarudin yang dipercaya sebagai Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia diharapkan mampu menjawab problem klasik penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri: mulai dari perlindungan hukum, penguatan diplomasi, hingga peningkatan kompetensi.
Untuk Kementerian Koperasi, masuknya Fery Juliantono menjadi penanda bahwa isu pemberdayaan ekonomi rakyat dan koperasi bakal mendapatkan perhatian lebih serius. Apalagi Presiden Prabowo telah menjanjikan program besar penguatan koperasi desa dan kelurahan. Harapan masyarakat sederhana: jangan sampai koperasi hanya dijadikan jargon politik, melainkan benar-benar dirancang sebagai motor kemandirian ekonomi.
Adapun dua kursi kosong---Menko Polkam dan Menpora---menjadi sorotan tersendiri. Publik menunggu sosok yang mampu menjaga stabilitas keamanan sekaligus memberi arah baru bagi generasi muda Indonesia.
Belajar dari Terdahulu
Reshuffle sejatinya tidak hanya pergantian nama. Ia seharusnya menjadi momentum refleksi. Para menteri baru seharusnya belajar dari jejak pendahulunya. Misalnya, Sri Mulyani yang selama ini dikenal disiplin menjaga defisit APBN bisa menjadi cermin bagi Menkeu baru untuk tetap berhati-hati dalam mengelola utang. Demikian pula pengalaman Abdul Kadir Karding di Kementerian Pekerja Migran dapat menjadi pelajaran penting bagi penggantinya agar tidak mengulangi kesalahan administratif dan koordinasi yang kerap terjadi.