Lihat ke Halaman Asli

Benny Eko Supriyanto

TERVERIFIKASI

Aparatur Sipil Negara (ASN)

Royalti Musisi, Hak atau Perangkap? Menyelami Kekisruhan Ekosistem Musik Indonesia

Diperbarui: 10 Juni 2025   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penampilan Dewa 19 feat Virzha di konser musik Sky Avenue 2023 Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (26/8/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan 

Ada yang ganjil dari gemerlap panggung musik Indonesia belakangan ini. Di balik tepuk tangan penonton, di balik gegap gempita konser-konser yang kian ramai, diam-diam ada bara yang menyala: pertarungan antara pencipta lagu dan para penyanyi soal royalti performing rights.

Kasus  yang menyeret nama Agnes Monica ke meja hijau menjadi puncak gunung es dari persoalan panjang yang tak kunjung selesai. Agnes dinyatakan bersalah menyanyikan lagu Bilang Saja tanpa izin dari penciptanya, Arie Sapta Hernawan, dan dijatuhi hukuman denda Rp1,5 miliar. Tak terima, Agnes melawan lewat kasasi ke Mahkamah Agung. Tapi publik terhenyak: mungkinkah menyanyikan lagu di panggung bisa berujung penjara atau denda miliaran?

Di balik kasus Agnes, menyusul gugatan terhadap Lesti Kejora dan Vidi Aldiano. Ketakutan pun menyelimuti para musisi Indonesia. Ini bukan soal gengsi. Ini soal tafsir hukum dan nasib hidup.

Di Balik Lisensi: Direct vs Blanket

Pangkal masalah terletak pada perbedaan tafsir atas Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014. Para pencipta lagu, terutama yang tergabung dalam Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), merasa selama ini diperlakukan tidak adil oleh sistem royalti kolektif atau blanket license yang dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Menurut mereka, angka royalti yang diterima sangat jauh dari kata layak. Musisi sekaliber Piyu "Padi Reborn" saja mengaku hanya mendapat royalti Rp125.000 hingga Rp300.000 per tahun. Di tengah ratusan konser musik yang berlangsung setiap tahunnya, angka ini sungguh ironi. Maka, mereka mengusung sistem baru: direct license. Royalti dibayarkan langsung dari penyanyi ke pencipta, tanpa perantara, dengan tarif yang ditetapkan sepihak oleh pencipta.

Di sinilah badai mulai menggulung.

Para penyanyi menilai sistem direct license ilegal, atau setidaknya belum diatur secara jelas dalam regulasi. Mereka berpegang pada Pasal 23 UU Hak Cipta, bahwa penggunaan lagu di konser dapat dilakukan tanpa izin pencipta asal royalti dibayar melalui LMKN. Masalahnya, para pencipta merasa LMKN gagal mendistribusikan royalti secara adil.

Ekosistem Musik yang Saling Berseteru

Saat para penyanyi membentuk Vibrasi Suara Indonesia (VISI) sebagai wadah untuk memperjuangkan kepastian hukum, para pencipta semakin mantap menerapkan direct license. Akibatnya, dua kubu yang seharusnya saling menghidupi malah saling berhadapan di pengadilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline