Lihat ke Halaman Asli

Fadhilatun Nafisa Benaya

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Helobagas dan "Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu" : Antara Satra dan Suara Hati

Diperbarui: 2 Juni 2025   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi (miik sendiri : Benaya)

Di tengah gempuran novel romantis dan fiksi fantasi yang membanjiri dunia literasi Indonesia, hadir sebuah karya sederhana namun menghujam relung terdalam jiwa. Buku “Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu” karya Helobagas bukan sekadar kumpulan narasi, melainkan jeritan batin yang selama ini hanya bisa disimpan dalam diam. Buku ini adalah potret luka, cinta, dan ketidaksempurnaan manusia yang berusaha kuat di tengah rapuhnya kenyataan hidup.

Penulis yang Bicara dengan Hati

Helobagas, atau yang bernama asli Bagas Dwi Satria, dikenal sebagai penulis yang kerap menulis tentang isu kesehatan mental, keluarga, dan pencarian makna hidup. Ia memiliki gaya menulis yang jujur, puitis, dan sangat emosional. Lewat “Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu”, Helobagas mempersembahkan sebuah surat panjang dari anak kepada ibunya  bukan dalam bentuk surat fisik, melainkan curahan hati yang selama ini terpendam.

Buku ini ditulis seperti dialog satu arah. Sang anak berbicara kepada ibunya tentang semua beban yang tak pernah ia tunjukkan secara langsung. Ia menceritakan kelelahan, kegagalan, perasaan tidak cukup, hingga rasa bersalah karena tidak mampu membuat ibunya bangga.

Tema Besar: Luka yang Tertahan

Salah satu kekuatan buku ini terletak pada temanya yang sangat dekat dengan banyak orang  hubungan antara anak dan ibu. Namun bukan hubungan yang selalu harmonis, melainkan yang penuh tekanan batin, harapan yang tak tersampaikan, dan kasih sayang yang sering disalahartikan.

Dalam kehidupan nyata, banyak anak yang berpura-pura kuat demi orang tua. Mereka menekan perasaan sendiri, takut dianggap lemah, atau merasa bersalah jika menunjukkan kelemahan. Buku ini menggambarkan semua itu dengan sangat manusiawi.
“Bu, aku sering berpura-pura baik-baik saja, bukan karena aku kuat. Tapi karena aku gak mau Ibu tambah sedih.”
Kutipan seperti ini begitu relevan, terutama bagi generasi muda yang tengah berjuang dengan kesehatan mental namun merasa harus tetap “tahan banting” demi keluarga.

Bahasa yang Mengalir dan Menyentuh

Helobagas menggunakan gaya bahasa naratif yang cenderung puitis, namun tetap mudah dicerna. Ini membuat buku ini tidak hanya cocok untuk pembaca muda, tapi juga semua kalangan yang sedang mencari bacaan yang dapat menguatkan mereka secara emosional.
Penggunaan kalimat pendek, repetisi, dan metafora sederhana membuat pembaca seolah sedang membaca buku harian seseorang atau bahkan melihat diri mereka sendiri di dalamnya. Emosi yang dituliskan terasa mentah, jujur, dan tidak dibuat-buat. Justru di sanalah letak kekuatannya.

Dampak dan Resonansi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline