Lihat ke Halaman Asli

RENALDI BAYU

I am a student at Udayana University.

Evaluasi Pendidikan Kewarganegaraan: Antara Instrumen Hegemoni dan Ruang Emansipasi

Diperbarui: 25 Agustus 2025   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gemini ai

Evaluasi dalam Pendidikan Kewarganegaraan sering kali dipahami hanya sebagai perangkat administratif yang bersifat teknis. Ujian dianggap sebatas alat untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu menguasai materi tentang konstitusi, hukum, Pancasila, atau sejarah kebangsaan. Pandangan semacam ini sebenarnya terlalu menyederhanakan fungsi evaluasi. Lembar ujian bukan hanya kertas yang menampung jawaban, melainkan sebuah instrumen yang sarat dengan kepentingan politik, ideologis, sekaligus pedagogis. Evaluasi menjadi ruang di mana negara berupaya membentuk warga negara ideal menurut kerangka normatif yang ditetapkan.

Pandangan kritis memperlihatkan bahwa evaluasi kewarganegaraan adalah bagian dari teknologi pembentukan subjek. Setiap soal, setiap pilihan jawaban, bahkan setiap rumusan kasus sosial yang ditawarkan kepada siswa, tidak pernah netral. Semuanya bekerja untuk membentuk cara tertentu dalam berpikir tentang negara, hukum, hak, dan kewajiban. Dengan kata lain, ujian tidak hanya menguji hafalan, melainkan juga menata horizon berpikir warga muda agar selaras dengan logika negara.

Evaluasi sebagai Mekanisme Produksi Subjek

Jika ditelaah pada tataran permukaan, soal ujian kewarganegaraan memang tampak sederhana. Pertanyaan berkisar pada pengetahuan dasar: apa bunyi pasal tertentu dalam UUD 1945, apa fungsi lembaga-lembaga negara, atau bagaimana pengertian Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di balik bentuk yang sederhana ini, terdapat sebuah mekanisme yang lebih dalam: upaya menegaskan batas wacana yang sahih mengenai kewarganegaraan.

Misalnya, perbedaan antara "nilai instrumental" dan "nilai praksis" Pancasila kerap dijadikan pertanyaan. Pertanyaan ini bukan hanya klasifikasi teoritis, tetapi juga strategi negara untuk mengajarkan cara resmi dalam membaca ideologi. Di ruang kelas, siswa tidak sedang bebas menafsirkan Pancasila, melainkan diarahkan untuk memahami ideologi sesuai dengan pola yang telah ditentukan. Konsekuensinya, jawaban yang benar bukan semata hasil dari nalar kognitif, tetapi juga menjadi simbol kepatuhan politik.

Evaluasi dengan demikian berfungsi ganda: di satu sisi mengukur pemahaman siswa, tetapi di sisi lain menjadi medium pembentukan warga negara yang sesuai dengan cetak biru negara. Subjek yang diharapkan lahir adalah individu yang mampu mereplikasi logika resmi dalam membaca realitas sosial. Contohnya, memandang pandemi COVID-19 sebagai pembenaran atas intervensi negara, atau menganggap Golput sebagai penyimpangan dari partisipasi politik yang benar.

Ketegangan Pertama: Universalisme Hak dan Partikularitas Negara

Walaupun berfungsi sebagai mekanisme hegemonik, ujian kewarganegaraan juga membuka ruang paradoksal. Di balik pertanyaan-pertanyaan yang menekankan kepatuhan, terdapat pula wacana universal tentang hak asasi manusia yang justru berpotensi menggugat kedaulatan negara.

Contoh sederhana: pertanyaan yang menekankan bahwa setiap manusia, termasuk individu dengan keterbatasan rasional, tetap memiliki hak asasi. Pernyataan semacam ini mengandung klaim universal tentang martabat manusia. Hak tidak diberikan oleh negara, tetapi melekat pada manusia karena kemanusiaannya. Dengan begitu, siswa diperkenalkan pada gagasan bahwa ada otoritas moral yang lebih tinggi daripada negara.

Namun, universalisme ini tidak pernah berdiri sendiri. Ia harus diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia. Hak untuk hidup dan hak atas kesejahteraan misalnya, dijelaskan melalui kebijakan yang lebih konkret: bantuan langsung tunai, perlindungan sosial, atau jaminan kesehatan. Dalam proses ini, gagasan universal tentang hak dipaksa berhadapan dengan keterbatasan fiskal, birokrasi, dan kondisi sosial-ekonomi yang nyata. Dengan kata lain, siswa belajar mengenai idealitas universal sekaligus realitas partikular yang sering kali penuh kompromi.

Ketegangan Kedua: Kontrak Sosial dan Ruang Gugatan

Selain wacana hak asasi, evaluasi kewarganegaraan juga menegaskan logika kontrak sosial. Negara digambarkan sebagai pihak yang absah karena mampu melindungi, melayani, dan menyejahterakan warganya. Warga, sebagai gantinya, diwajibkan taat hukum dan berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Narasi ini memperkuat legitimasi negara modern. Akan tetapi, pada saat yang sama, ujian kewarganegaraan justru membekali siswa dengan kerangka konseptual untuk menggugat negara. Pertanyaan yang mengaitkan banyaknya angka putus sekolah dengan pelanggaran hak asasi, misalnya, menunjukkan bahwa kegagalan negara menyediakan pendidikan yang layak adalah bentuk pengingkaran kontrak. Dengan logika ini, negara tidak bisa hanya menuntut kepatuhan, sebab legitimasi yang dimilikinya bersifat resiprokal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline