Lihat ke Halaman Asli

bambang riyadi

Praktisi ISO Management Sistem dan Compliance

Pelaut Tangguh Tidak Lahir dari laut yang Tenang, Pun Ayah

Diperbarui: 12 September 2025   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelaut di tengah badai |Canva


Hujan gerimis turun di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, pagi itu. Udara lembap, bau garam dan minyak kapal menyatu. Di dermaga, seorang anak kecil berusia sekitar enam tahun menangis pelan, memeluk erat kaki ayahnya yang mengenakan seragam pelaut biru tua. Sang ayah, wajahnya penuh garis lelah, berusaha tersenyum. Ia mengecup kening anaknya, berbisik sesuatu yang tak terdengar, lalu perlahan melepaskan pelukan itu. Tangannya gemetar saat menyerahkan mainan kapal-kapalan dari plastik ke tangan mungil sang anak. "Nanti Ayah pulang, ya. Ini kapal Ayah, biar kamu ingat." Lalu ia berjalan menjauh, menuju tangga kapal, tanpa menoleh.

Saya berdiri di kejauhan, merasa seperti menyaksikan adegan dari film yang tak pernah selesai. Tapi ini bukan sandiwara. Ini adalah perpisahan yang terjadi ribuan kali setiap tahun di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Perpisahan antara seorang pelaut dan anaknya. Antara nafkah dan cinta. Antara lautan yang tak pernah tenang, dan hati seorang ayah yang juga tak pernah damai.

Dua Medan, Satu Perjuangan

Pelaut sering digambarkan sebagai pahlawan laut. Tangguh, berani, mampu menaklukkan ombak tinggi dan badai yang mengamuk. Tapi jarang yang bicara tentang medan lain yang mereka hadapi: rumah. Di sanalah, perjuangan yang tak kalah ganas berlangsung---dalam bentuk rindu, rasa bersalah, dan ketakutan akan kehilangan.

"Saya sudah 11 bulan di laut," kata Pak Joko, seorang ABK yang saya temui di ruang tunggu pelabuhan. Ia menatap ponselnya, memutar video anaknya yang baru lulus TK. "Anak saya bilang, 'Papa itu siapa ya?' Saya tertawa, tapi hati remuk."

Saya melihat matanya berkaca-kaca. Di sekitar kami, puluhan pelaut lain bersiap berangkat. Beberapa membawa bingkisan plastik untuk keluarga, yang lain hanya membawa tas kain usang. Mereka bukan superhero. Mereka ayah, suami, anak---yang memilih berlayar jauh demi sesuap nasi yang sampai ke meja makan keluarga.

Kapal menabrak gelombang tinggi | emaritim.com

Tangguh di Laut, Rapuh di Hati

Di atas kapal, mereka harus kuat. Harus bisa bekerja 12 jam sehari, menghadapi cuaca ekstrem, risiko kecelakaan, bahkan ancaman bajak laut. Tapi di malam hari, saat kapal melaju sunyi di tengah samudra, mereka sendiri. Hanya ada laut hitam, bintang, dan layar ponsel yang kadang menampilkan foto anaknya.

"Saya pernah menangis di dek kapal," ujar Pak Dedi, pelaut asal Bima. "Hari itu anak saya operasi. Istri kirim video. Saya tidak bisa pulang. Tidak ada kapal pengganti. Saya cuma bisa doa. Rasanya... seperti kapal tanpa kemudi."

Itulah ironi dari ketangguhan. Mereka yang dianggap paling kuat justru sering kali yang paling rapuh secara emosional. Mereka bertahan bukan karena tidak merasa sakit, tapi karena tahu, jika mereka menyerah, rumah akan runtuh.

Ayah yang Tak Selalu Bisa Hadir

Banyak anak pelaut tumbuh tanpa sosok ayah di sampingnya. Mereka belajar berjalan, masuk sekolah, lulus ujian---tanpa pelukan ayah yang seharusnya ada. Tapi dari jauh, sang ayah tetap menjadi simbol kekuatan. Dalam surat-surat kecil yang dikirim, dalam panggilan video yang terputus-putus, dalam kiriman uang yang selalu datang tepat waktu.

Saya pernah bertemu dengan seorang ibu di pesisir Madura. Ia menunjukkan kotak kayu kecil berisi surat dari suaminya yang sudah 18 bulan di laut. "Ini surat terakhir. Katanya, 'Maafkan Ayah yang tak bisa datang saat kamu sakit.' Tapi kami tak pernah mengeluh. Karena kami tahu, setiap rupiah yang dia kirim, dibayar dengan rindu yang tak tertahankan."

Penutup: Ketangguhan yang Lahir dari Pengorbanan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline